Rasa itu ada.

MENYAMPAH
Manusia yang belum bisa menyesuaiakan dengan lingkungannya perlu tempat sampah pengaduan yang handal? Sebegitukah keadaanku selama ini? ketersedianku sebagai tempat sampah tergerus pula di sini, tempat yang mengantarkanku menendang sang udara untuk pertama kali. Sederhana tempatnya, masih lugu seperti dulu. Lipstik kemajuan hanya sedikit tergores pada bibir jalan, bangunan, ketradisonalan. Akan tetapi sepandai-pandainya kapal berkelit tentulah olenglah dek ke kanan ke kiri menyeimbangi sang ombak. Begitu pula desa yang begitu-begitu saja jalannya. Berdebu dan sangatlah berdebu ketika musim kemarau, berongga-rongga jalan ketika musim hujan sudahlah biasa. Bukan-bukan masalah kebiasaan tapi ketidakberdayaan fisik yang memang harus dan harus ditutupi dengan senyum keluguan. Senyum yang nanar di tengah gelimpangnya hasil bumi bermuntah-muntah jumlahnya. Kacung di negeri sendiri itulah kata yang tepat bagi orang pribumi sini, keterbatasan dana yang kebetulan sama seretnya dengan jalan yang dijanjikan akan terbangun 2016 memang hanyalah pewangi sialan. Yang parahnya lagi di sini dipercayai bagai anjuran ustadz yang manjur. Eh kok nresulo masalah dalan, ora enek entek-enteke wes. Tok sidang ditutup nanti PK kalau mau.

Apakah pikaranku yang memang lemah memahami ini ataukah jurang “kekikukan”  yang membuat koreng semakin melebar. Apa lacur jikalau menulis sebentar saja, bukan berarti aku adalah salah satu makhluk yang merasa ‘kesepian’ bahwa di luar sana, entah di manapun masih banyak orang yang merasa ramai tapi jiwanya benar-benar sunyi. Maaf menyampah, dan sekali lagi ini bukanlah sebuah pelarian dari panggung dunia berlokasi di Talio Muara suatu desa trans pada wilayah Kalimantan Tengah. Tahu kan Kalimantan Tengah dengan emas yang benar-benar gawat jika tak cepat-cepat direlokasikan? Aku tak mau mencari alibi lain lagi atau mencari bala bantuan yang sering dilakukan oleh orang lain demi menaikan pamor ‘mental’ rendahan dengan menumpang kejantanan manusia. Bukan bukan hal itu yang ingin kukatakan, bahwa ada bahasa yang tidak bisa dilisankan memang benar adanya. Ada rasa ‘plong’ tersendiri dalam tulisan, akan tetapi mempunyai batasan yang sangat berbeda dengan status facebook. Apa guna kertas putih jika tak tercoreti, entah itu dengan suatu yang ‘berguna’ dan ‘sampah’ yang selalu dianggap tak berguna. Begitukah? Bahwa menulis itu hanya sebuah pekerjaan dari sebuah keterasingan? Bukan, bukan menulis tak segampang dan selancar seperti itu! Tengoklah orang-orang yang sering disebut sebagai ‘penulis produktif’ banyak akalnya saja bukan? Entah dari mana inspirasi berasal kok ada-ada saja yang mereka tulis. Tapi tak ragu kukatakan bahwa menulis sangatlah asyik jika berangkat dari sebuah kegelisahan, kegelisahan di sini tak layak lantas dikaitkan dengan masa akut seorang manusia menuju proses di mana permintaan cucu semakin mendorong untuk mengeluarkan sang tai. Bukan juga kegelisahan para mulia yang menjomblokan diri karena belum khilafnya sang manusia menjadi salah satu fondasi hatinya. Entah apa yang membuat orang besarpun masih menyempatkan menyampah dalam kesibukannya. Entahlah mengapa aku menyampah di tengah kerumunan manusia yang masih dapat mendengar dan berbicara? Kegelisahan menjadi alasan getir untuk itu, kegelisahan ya tak lebih? Entahlah....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu