Mengapa Menulis...
Kelebaian yang berlebih mungkin yang
menjangkit seluruh raga kini, lebih tepatnya kegumunan berlebih dari
perpindahan partikel ke partikel lain dengan tanpa persiapan. Minggu hari ini
di tanggal yang lain masih seperti kemarin rasanya. Minggu yang santai tanpa
hiburan berarti dan tololnya banyak waktu yang terbuang sia-sia, apalah guna
banyak waktu luang tapi menyia-nyiakannya. Oh itu terasa sekali kemarin,
rencana menjalin silaturahmi tidak jadi. Tak apalah demi MU, ya apalagi yang
bisa diharapkan dari dunia pertelivisian masa kini selain tayangan langsung
sepakbola. Pun belum sepenuhnya lega menghampiri karena terkadang saja klub
yang kita dukung nongol di TV atau secara kebetulan disiarakan. Kecuali
sepakbola Indo yang ribetnya minta ampun, masing-masing menanggap benar dan tak
mau disalahkan. Ini persis dengan ceramah Mochtar Lubis di Taman Mini Indonesia
Indah yang salah satu poinnya menilai bahwa manusia Indonesia kurang bisa
bertanggungjawab. Nah, itu benar terjadi adanya, badan tertinggi selalu merasa
di ketek sang badan tertinggi di dunia. Sedangkan yang satu lagi aspek hukum
maupun legalitas sebuah klub demi terjaminnya gaji pemain. Eh kok masalah bola
ujungnya, balik-balik….!!!!!!!
Entah jam berapa kala itu
meninggalkan Jogja, ngantuk tapi entah kenapa enggan memejamkan mata. Bukankah
di Bandara jika terlambat atau ketiduran di ruang tunggu keberangkatan sudah
biasa di Indonesia. Faktor keterlambatan pesawat yang harus dimaklumi dan
memang seharusnya termaklumkan. Bagaimana lagi jika kita dihadapkan oleh
pilihan yang serba sulit sembelit? Di antara dua pilihan yang sama-sama
kecepit, menunda keberangkatan alias hangus tiket atau menunggu sang pilot
khilaf lalu mendaratkan pesawat di bandara Adi Sucipto. Entah. Sampai sekarang
bisa dibilang Negara kita memang sangat toleran terhadap apapun. Demi keamanan
jiwa dibiarkan melayang, demi stabilitas nasional HAM diinjak-injak. Halo bapak
yang sering mengatasnamakan rakyat sehat? Saya sehat pak sekarang tapi entah
saudara saya yang lain, mungkin tidak semujur saya. Ah Lion Air. Ah pembantu
Presiden ah Pak Ignasius Johan. Jujur taka da menyalahkan tapi sekedar sambat
konsumen bapak.
Pendaratan mulus, selamat datang di
Banjarbaru waktu di sini lebih cepat 1 jam dari waktu di jam anda. Kamilah yang
terakhir lepas landas tapi ternyata bukan kami terakhir menginjakan kaki di
Banjarbaru. Ternyata masih ada satu rombongan lagi dan tentunya kau tahu dengan
cat dan tulisan yang sama dengan pengangkut kami, kebetulan kah? Atau sudah ada
janjian seperti itu? Ya khusnudzon saja pilotnya mencret lalu buang air besar
kamar mandinya ngantri 15 menit lalu beraknya 15 menit 30 menit sudah. Belum
ngopi atau ngobrolnya, anggap saja 20 menit. Dianggarkan sedemikian rupa guna
memberi keluasaan teman lama yang jarang menginjak bumi. “Kalian mau apa yang
penting terbang sampai tujuan bukan? Paling penting kan tidak masuk headline
Koran seperti tetangga maskapai lain?” kelakar sang pilot mungkin begitu. Ah
persetan dengan telat pemberangkatan di atas itu semua menjejakan kaki di bumi
Bornoe itu cukup, desis suara apatisku. Apa perlu kiranya mebayar mahal agar
kepuasan selalu seimbang dengan harga? Tak bolehkah orang pas-pasan naik
kendaraan elit sedikit? Tidak bisa dikatakan elit sepenuhnya karena kalau di
darat paling taraf sang Lion sama saja dengan bis antar kota dengan layanan
yang membosankan. Sekali lagi keterpaksaan membuat orang maklum saja, sungguh
subhanallah memang kita ini. lalu apalah arti sebuah tulisan ini? nah itu ada
rasa menguapnya beban tapi entah beban apa. Sama dengan semboyan sprite PLONG
sampai BLONG. Maklum kita memang harus dipermak kalau perlu dicor
setebal-tebalnya melebihi bangunan masa kini. Salam.
Komentar
Posting Komentar