Derasnya Papan Seluncur*


Lucu ya terkadang kita membiarkan termangu melihat saudara yang jatuh terpeleset oleh licinnya jalan. Tawa seakan sebuah hal yang wajar mengenai kejadian  yang lucu. Ya memang tidak ada hiburan gratis selain hal-hal remeh yang sering diremehkan adanya. Sering hal-hal besar menutupi hal-hal kecil penyumbat sumber jernih air penyegar. Lalu kita pura-pura berjalan dengan entengnya menghirup udara pagi yang konon bersih dari polusi. Seolah-olah mata tertutup hidung tersumbat oleh asap embun yang menyesakkan dada. Akhirnya tersadarlah kita di sudut ruang dengan peranti kesehatan melekat pada tubuh berkulai. Remeh temeh bukan hal itu? Kita lebih banyak berdebat untuk hal baiknya tapi sering lupa bahwa saudara kita butuh pertolongan bukan diskusi maupun wacana yang handal nan cerdas namun usang pelaksannaan.
          Aneh bukan pemuda dengan jumlah yang selalu bertambah di era yang serba matrealistis. Kadang realis dengan gigi bibir tak lepas mengapit sumber asap kehidupan. Barangkali salah satu eskapisme itu sajalah yang bisa dilakukan. Demi suatu nafsu yang belum terpelihara dengan baik, bahkan dengan ilmu maupun wawasan yang didapat tak cukup untuk mengekangnya. Berbagai alibi disusun untuk mendukung alibi,sedang di hati membenci para teologis. Berbagai tokoh di puja dengan pemikiran filosofisnya. Tapi toh itu hanyalah orang barat yang kadang kita tidak benar-benar setir. Pengakuan atas keilmuan serta berbagai wownya itulah efek yang ingin diciptakan. Bukanlah pertanyaan berangkat dari suatu keraguan? Bukanlah pernyataan butuh pembenaran dari segala aspek? Atau kita yang mulai lupa dan lebih menganggap ini baik-baik saja seraya menenggelamkan dalam alunan musik pagi.
          Spirit itu tak lagi sama bukan? Bagaimana mau memperbaiki,mengevaluasi kalau di diri kita saja masih terpatri belas kasih akan uang orang lain. Sungguh tolol jika tak menolong orang yang dalam kesusahan. Realita mengatakan mereka tidak benar-benar dalam keadaan yang demikian. Namun kesempatan maupun faktor kedekatan terkadang di manfaatkan untuk meminta welas asih. Bukankah baik memberi kepada teman? Tapi apa bedanya kita memberi teman maupun pengemis yang meminta dengan polosnya di sudut kota yang telah menggerus kehidupannya? Bedanya terletak kepada khazananh masing-masing pelaku. Selaku pemegang kendali obor yang berapi masih pantaskah demikan dilakukan? Kebutuhan tidak membutuhkan elegan atau tidak. Kebutuhan yang membutuhkan perwujudan tanpa alasan. Namun apakah jawa seluas di tempurung kelapa saja? Bagi orang kita yang memiliki kemampuan begini saja iya tapi bagi lainnya belum tentu?

          Krisis apa yang di hadapi di jaman yang katanya serba bebas ini? bebas terlah diartikan kebablasan bukan di maknai dengan arif. Kecenderungan “RAKYAT” yang sungguh memilukan dalam penggunaan membuat tercorengnya arah gelora semangat. Nyatanya masih perlu jalan yang panjang untuk menyusun suatu kerangka keilmuan di samping kerangka berpikir. Bisa anda tawarkan apa?


*tulisan lama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu