Anak Jadah


Seorang anak manusia terlahir di dunia yang sebenarya benar-benar tak menginginkannya.
Suatu kecelakaan disebut, dikatakan seperti itu karena tak ada unsur kesengajaan, tetapi perjudian yang membuahkan benih. Ini namanya tahu sengaja atau apa, yang jelas ada unsur keinginan yang menggebu sehingga menjadi taraf nafsu. Serta merta untuk menutupi kecelakaan yang telah mengaibkan diri maka dilaksanakanlah proses pernikahan yang sering disebut upacara suci?
Pertanyaan tidak lepas sampai di situ, bagaimana nasib sang anak yang lahir di luar nikah?
Kontan banyaklah itu para jejenggot, kokonian, kopiahan, pezikirian, dan pembid’ah menggulirkan hukumnya. Masing-masing dengan dalil cash kontan. Hasilnya membuahkan kesimpulan bahwa sang anak adalah haram dan status walinya dibebankan kepada hakim. Ya entah seperti itu ‘seharusnya’ tatanan yang berlaku, teori dengan mudah dijelaskan. Fakta geografis mementahkan itu semua, tak semua daerah terjangkau oleh Hakim. Lagian siapa sih pengen susah-susah ke daerah terpencil atau mengurusi hal remeh temeh demikian yang hanya menambah pekerjaan dan tidak menambah penghasilan selain bank ‘terima kasih’ yang usang lapuk.
Selesaikah sudah masalah demikian setelah pernikahan?
Oh tidak, bagi masyarakat yang sensitif dengan hal haram-halal perkara itu tak mudah. Terkadang ya terkadang dengan keceplosan olok-olok anak haram dengan ringan muncrat dari ‘lambene’ seng ngaku bener dewe. Tragisnya sering yang ceramah berlaku demikian, nah itu gimana? Sedangkan bagi yang mereka kategorikan tak berpindidikan justru cuek saja dan memilih menganggap kehadiran sang anak sebagai anak umumnya. Entah atas asas kasihan atau apa, mau manusia memang sukar ditebak.
Tak selamanya anak yang lahir di luar memiliki kelakuan binal, aku tidak setuju dengan analogi yang mengatakan bahwa sang anak nakal karena karma perbuatan orang tua. Lantas logika mana yang memberatkan beban kepada anak yang masihlah polos, bahkan matanya penuh keluguan dengan penyandangan anak haram yang nyata-nyata dia juga penghuni baru dunia ini. Siapa yang berhak menlabeli haram-halal selain Tuhan sang  pemberi nafas. Sudahlah, belumkah cukup orangtua mereka menanggung itu semua, biarlah sang anak ini tumbuh dengan dunianya.
Kita yang dewasa mari lihat saja, usir jauhlah hobi mengkait-kaitkan. Memang masyarakat kita itu paling hobi mengkaitkan, ditunjang dengan mistis serta pengalaman maka terjadilah diskusi yang menarik. Mereka biasanya hanya mencerca-mencerca saja tanpa solusi yang jelas, persis kan seperti pemerintah kita. Bahkan tidak jarang anak dengan label haram berprestasi, mempunyai keinginan yang kuat dalam beribadah lebih daripada anak halal hasil persetubuhan illegal agama.
Tidak aku lantas dengan pernyataan demikian memperbolehkan nikah di luar nikah. Ini hanya sebuah pembelaan bagi anak manusia yang terjerat dalam lumpur ‘keharaman’ sejak dunia ini masihlah pagi. Jangan dengar kata orang nak, buatlah duniamu sendiri karena kau adalah manusia yang berhak menentukan takdirmu sendiri.
Yang dia butuhkan bukanlah cercaan dari kalian, biarlah biarlah mereka yang kalian sebut anak haram tumbuh setumbuh-tumbuhnya. Sungguh mereka nanti jadi apa tergantung sumbangsih alam serta manusia yang memedulikannya. Lebih baik diam jika hanya memperkeruh suasana, teori sering tak relevan dengan tuaian bukan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu