Asas Lugu Pada Curiga
Terbuat dari apakah kecurigaan
itu? Dari gumpalan tepung kebenciankah? Dari analisa sementara ataukah analisa
mendalam? Pengamatan sederhana dengan spontanitas akut? Wajarkah sikap curiga
atas berbagai kemungkinan di tengah zaman dengan status AWAS. Awas bbm naik,
sembako melejit serta birokrasi yang mengawaskan mata. Sungguh zaman yang
ekstra waspada, tapi kenapa kenapa dan kenapa kewaspadaan berujung kepada
prasangka buruk? Pendidikan kah yang membedakan kesimpulan manusia dengan
manusia lain? Atau sesi kebendaharaan jumblengan pengalaman yang membedakan?
Situasi, tempat yang mempunyai pengaruh yang besar? Begitukah sudah sewajarnya
termaklum? Tapi mengapa dan mengapa kewaspadaan yang berujung kepada
“kemungkinan” tidak menyesatkan berwujud emas di tengah kemunafikan alami?
Sungguh semakin menarik posisi seorang manusia dalam suatu komunitas lingkungan
maka semakin menarik pula untuk dicurigai atau sekedar diumbar ‘kepribadiannya’
entah itu baik maupun buruk. Dengan enteng beralasan apalagi yang kami bahas
perihal sang ‘dia’ kami pun tak bisa menyelaraskan pikiran dengannya, dunianya
terlalu luas bagi kami yang hanya udik saja tinggal di sini. Bukan begitu kan
seharusnya?
Lumrah adanya jika tempaan
lingkungan menggumpalkan kesimpulan, bukan bukan kesalahan mereka yang jarang
melihat dunia luar seperti adanya. Tapi bukan salah seorang yang benar-benar
buta akan maqam induknya setelah pengasingan beberapa waktu, tentulah butuh
waktu guna menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Moral tetangga selalu diusik
tanpa tersadar serangan yang tersusun secara sistematis telah mengincar
kelengahan sang penjaga gawang kewaspadaan manusia. Dengan sekali tendangan
mendatar pelan sang bola meluncur ke sudut tanpa terpikirkan sebelumnya bola
akan masuk melewati sudut di antara kedua kaki. Kecelakaan atau sebuah
kelalaian? Aku lebih memilih kedua, kelalailan, kejumawaan serta tak sadar diri
kacamata kuda yang terpasang ternyata tidak menyelesaikan masalah. Kacamata
yang seharusnya digunakan sebagai penangkis debu serta mereduksi sinar matahari
ternyata hanya dapat melindungi mata yang peka dari sudut samping saja. Bahkan
empat bek sejajar yang diagungkan hanya tertinggal lengah sepersekian detik
berhadapanlah bahaya dengan sang tembok terakhir. Maka yang terjadi terjadilah,
tak seperti bubur Jakarta sebagai pembuka pagi. Ini lebih sebagai bubur rasa
hambar yang sangat hambar, karena injury time goal make a winning glory.
Kedekatan dengan objek itukah
salah satu biang kerok ketersimpulan kecurigaan? Nah aku pun sering sedemikan
terjebak, namun hal itu tak menjadi alasan yang logis terhadap kesalahan
manusia. Memungkinkan hal-hal yang masih belum teraba struktur permuakaannya
sangatlah perlu, akan tetapi penangkapan manusia memang tidak bisa disalahkan.
Tidak hampir dari semua kecurigaan adalah spontanitas yang ada di kepala yang
kebetulan saja merasa kosong tanpa ada gonjang-ganjing. Begitulah hiburan
sederhana di antara debu jalan kemarau yang selalu disalahkan. Keobyektifan
memang teori yang sangat handal tapi sangat sundal untuk menjadi gombal. Dalam
khazanah Jawa yang sering dikatakan bahwa mereka orang Jawa sangat pandai
meramu kesakitan menjadi keterhalusan yang menusuk. Sudah sepatutnya “ojo
gumunan” diterapkan bagi yang merasa Jawa bagi yang tidak tentulah tidak susah
untuk belajar dari alam. Kejujuran itu memang baik apalagi keluguan yang
mendarah daging itu lumrah, akan tetapi sikap koboy menghakimi itu tidak baik.
Sekali lagi itu tidak baik bagi kelangsungan harmoni. Kita itu aneh melarang
orang bermesraan di tempat umum yang sudah sewajarnya mereka tak akan berani
macam-macam dengan tempat itu, tapi apa? Diam-diam kita menyediakan tempat sepi
untuk berduaan untuk menghasilkan benih ketiga? Ini masalah moral atau masalah
kelayakan, kesantunan, ora tepak atau bagaimana hoiiiiyyyyyyyy????
Komentar
Posting Komentar