Keroposnya Pemimpin
Teringat
akan tulisan maupun perkataan entah darimana saja berasalnya. Bahkan lintas
zaman terlewati oleh kata “ Setiap pemimpin adalah pemimpin atas dirinya
sendiri”. Bukannya ini kata sangatlah ringan bak kapuk terhempas oleh angin.
Namun mungkin karena kata ini terhentaklah kaki untuk melangkah tangan untuk
bergerak. Entah bergerak untuk senam atau untuk mencangkul di sawah. Baik kembali
ke kata-kata enteng tadi. Dimulai dari sendiri lalu menular ke orang lain di
sekitar. Pemimpin mempunyai banyak versi terjemahan yang kiranya terserah dalam
penafsirannya.
Apa
yang di pimpin dari diri yang hina ini? apa pengkonsolidasian perut kepada otak
lalu berwujud makanan masuk kepada mulut? Atau hanya sekedar memasukan
pentungan ke lubang dosa? Alangkah hina jika hanya menafsirkan akan hal-hal itu
saja. Mau bagaimana lagi itulah yang sering lalu lalang di pikiran kita bukan?
Lalu buat apa mengurus hal-hal yang bukan urusan kita? Bukankah setiap orang
mempunyai patron standar masing –masing? Tidak. Pembahasan maupun diobrolan
kali ini tidak menyinggung akan hal itu. Cukup pembahasan dari kerak saja
syukur-syukur bisa sedikit nyangkut di dalam.
Sungguh
suatu prestasi negeri ini mempunyai beribu kepala pada masingnya. Jika tidak
ada kepala mungkin telah mengecup tanahlah ia. Sungguh ironis melihat hari ke
hari berbagai kepala bukannya menghasilkan prestasi nyata. Pertentangan sengit
terjadi bukannya urun rembuk yang didahulukan untuk kemaslahatan bersama.
Masing-masing ingin menjadi kepala, jarang mengekor maupun tak terlihat. Entah
ingin mendapatkan pujian atau semata demi ambisi untuk menumpuk besi sambil
merokok berminumkan asi. Jiwa-jiwa kepemimpinan tidaklah mengalami krisis yang
mematikan seiring dengan ramalan. Patut di syukuri banyaknya pemimpin yang
tersedia di daerah ini. tapi kok tetap saja banyak perjalanan yang tersesat bahkan
urung jalan di tempat? Ternyata masalahnya terletak kepada gede rasa diri.
Lupakan masa lalu tentang seringnya penjajahan atas hak maupun kebebasan.
Memimpin sering di analogikan sebagai pemberi perintah sedangkan yang di
perintahkan bukanlah patner. Bahkan lebih buruk dari sekedar budak. Ya apa
bedanya kita dengan onta bung?
Lelah
tidak di hargai,peluh tak lagi di pandang. Ketika hasil lebih menjanjikan
proses di tinggalkan. Berapa banyak pemimpin instan berdatangan dikira kosakata
lama masih laku? Nasab di andalkan untuk menengguk popularitas. Bahkan beliau
tidak rela dengan RAKYAT yang memipinnya bukankah beliau pemimpinnya? Lebih
dari itu bukankah beliau lebih tinggi derajatnya apapun di lihat dari segi
manapun? Lalu mengapa? Karena jiwanya belumlah benar-benar terpimpin karena
beliau hanya memimpin orang lain tidak dengan jiwanya. Bukankah pemimpin yang
baik lahir dari pengalaman serta proses yang berliku bukannya dengan naik mobil
berkacamata hitam menyapa kawannnya. Sekali lagi permasalahan di sini lebih
pelik daripada mengantri untuk karcis di loket kereta api. Maaf karcis sudah
habis.
Komentar
Posting Komentar