Pindah Amben

                Kematian merupakan perpindahan dimensi nyata ke dimensi kekekalan nan abadi. Pepatah urip mung mampir ngombe seakan berbicara dekat sekali kepada seonggok daging yang menamai dirinya manusia. Entah itu yang sudah meng’aku’kan manusianya atau hanya agar dapat diterima dalam khalayak komunitas. Mak jedar dengan segenap ilmu sasmita alam bagi yang peka teranglah tanda-tanda akan kematian. Selalu banyak keterkaitan entah itu sengaja atau tidak tentang sebuah kematian, apalagi berkenaan dengan orang “Jawa”. Selalu ada-ada saja yang dapat dikaitkan, masalah santet atau tenun oleh orang ‘tersakiti’ dan lain-lain. Unik tapi seakan hal itu memang lumrah selain lumrahnya hamil sebelum nikah kekinian. Bagi yang sadar akan politik kematian pasti akan memanfaatkan momen ini guna menghasut sang perengek akan minggatnya sang roh ke mbaurekso urip. Manusia seperti umumnya sangatlah butuh kambing hitam sebagai tempat sampah keluarnya deretan kereta ke’jancuk’an, ke’asu’an dan gudelnya. Pokoknya harus ada yang harus bersedia dijelekkan atas sebuah kematian. Kuakui memang orang Jawa masihlah percaya akan takhayul serta mistis dengan alasan leluhur masih memerhatikan anak cucunya. Subhanallah. ngono yo ngono ning ojo ngono.
                Bagi yang bisa membaca pertanda alam maka teranglah tanda akan keagungan sang mbaurekso dunyo untuk dipikirkan dan direnungkan. Bau mayat, hewan yang berkeliaran sekitar sang calon “pulang kampung”, maupun tumbuhan yang lunglai sayu. Bahkan tidak jarang sang ‘pemudik’ angkat kaki dari dunia nan sumpek dalam rangkulan anak yang sangat diidamkan oleh bagi semua ayah tentunya. Ini pun patut disyukuri tak lebih bahwa kerukunan masihlah terjaga di antara yang tertinggal. Ada memang ada yang menginginkan sang keluarga yang bersangkutan agar lekas angkat kaki memodarkan diri guna menguasai hartanya, tangisnya seakan ditetesi obat merah. Mungkin di sana sang malaikat hanya geleng-geleng saja melihat tingkah laku kampungan ini.

                Apa yang menakutkan dari kematian? Bukankah sebuah nikmat yang luar biasa bisa bereuni lagi dengan tanah? Gembirakah manusia yang sudah muak dengan dunianya setelah kembali ke rumah aslinya? Masih adakah manusia yang tidak ikhlas ruhnya dicabut paksa karena merasa Tuhan hanya sak udele dewe? Terkadang Tuhan bercandanya keterlaluan sekali, orang yang dikategorikan “rusak” oleh para “sorbanian” kok ya masih hidup saja. umur yang panjang rahmat atau bencana? Dengan kerapuhan raga seolah sang renta hanya dihajar dan memelototkan perubahan zaman tanpa benar-benar bia berbuat sesuatu. Karena untuk mendengar saja perlu oktaf nan tinggi, pun dengan mode memamah makanan haruslah empuk. Bagiku kematian yang menyakitkan adalah dimatikannya gerak, nalar, spirit dan ruang bukan perginya ruh untuk kembali ke hariban sang ilahi. Kematian ini lebih menyiksa karena kita hidup tetapi sebenarnya mata jauh memandang, jiwa di Kalimantan tapi jiwa menjelajah Jogja. Sungguh mengapa Soekarno begitu menderita daripada suntikan, siksaan, namun pengasingan serta pengurcilan yang membuat ruh tak lagi menjadi hidup. Maka lekaslah ruh angkat kaki menuju sang nirwa kembali pada sang empunya ruh. Sudahkan kebebasan terlonggar? Masih takut kematian? Sungguh aku ingin orang yang tertawa maupun tersenyum ketika lengkingan pertama di dunia kembali ke kondisi awal tak ada tangis. Sungguh betapa menyakitkan meninggalkan mata sembap, bukan karena fitroh tapi karena rasa kehilangan. Tertawalah dan marilah nikmati detik-detik bertemu Tuhan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu