Gila Sama Dengan Waras


Apa sebenarnya hakikat makna dari GILA?
Siapakah yang berhak mengatur kegilaan?
Sampai batas mana sesorang tergolong gila dan waras?
Apakah orang gila itu manusia juga?
                Sering hal-hal yang berada di luar nalar kemanusian disebut gila. Gila atau crazy bisa dikategorikan kepada hal yang super ‘nekad’ terkadang, namun juga tak jarang menghasilkan maha karya cadas. Jika gila dikaitkan dengan kejiwaan maka jadilah artinya absurd. Pemahaman manusia yang cukup rendah terhadap manusia lain membuat vonis ‘gila’ mudah terketuk. Sebenarnya untuk menjadi gila diperlukan ketabahan serta kekuatan mental yang tinggi. Kok bisa? Dalam struktur kegilaan tidak dikenal alam ‘manja’, yang terkenal adalah faktor kerja keras! Lalu bagaimana dengan orang gila yang hanya tertawa dan mengamuk saja? Nah kalau generalisasi gila masuk dalam taraf ini maka alangkah kurang bijak sekali! Gila jiwa beda dengan gila pada umumnya.
                “Tuhan pun menggila”. Jika ada kalimat seperti ini dikaitkan dengan gila ‘jiwa maka artinya pasti ke arah Tuhan itu sinting menurut kata sifat yang melekat. Betapa tidak gila, manusia saja dibiarkan merusak bumi dan Tuhan hanya duduk di singgasana agungnya. Oooohhhh…… Sebenarnya Tuhan tidak lepas tangan, menyalahkan Tuhan merupakan hal yang memang tidak ‘etis’. Bukankah tidak ada manusia yang memikul tanggungjawab orang lain, pun demikian baiknya sang pencipta memberikan imbalan atas apa yang manusia perbuat (ini lama-lama model ceramah). Baiklah mata rantai ‘hak’ vonis gila gugur satu,  Allah (kalau memakai kata Tuhan Allah seakan-akan ada Tuhan Yesus dkk). Baiklah sebenarnya ‘keterbatasan’ nalar sang manusia sebetulnya akar dari permasalahan, pokok permasalahan dalam bahasa akademisi. Pembendaharaan pikir yang menstimulus otak guna menelurkan kata yang tepat seringkali ‘ngadat’ oleh jarring-jaring tak berongga. Maka tak usah beribet-ribet ria penhayatan sasmita alam beserta kemanusian sudahlah kata ‘gila’ cukup mewakili. Struktur kata gila memang berasal dari kata tak terbatas, maka demi pembatas dilabelilah GILA.
                Penentang adat kebiasaan yang telah terbalut rapi lamanya, hasil olah pikir manusia dahulu, perenungan harmoni dengan alamnya bisa juga disebut gila. Apa sang penentang tidak takut terkena kutukan nenek moyang? Ini gila dalam hal perbuatan. Sebenarnya gila dalam masyarakat kekinian itu selalu dilabeli dengan hal-hal yang tidak etis, kalau gila dalam hal yang bagus itu sering disebut ‘suatu’ prestasi. Nah loh? Kerja penghargaan sama halanya dengan gila, serabutan. Heu… Pun demikian jika gila hanya dikonotasikan kepada sifat badaniah terlebih kepada pola tidak modisnya berpakaian, hasilnya manusia yang tidak seperti lainnya menjadi ‘gila’. Dekil karena memang malas mandi menjadi sasaran tembak ‘gila’, kurang otak menjadi tolak ukur dari berbagai penggaris golongan ‘gila’. Opo yo menungso wes gawe uteke? Orang waras selalu dikaitkan dengan polahnya nan sesuai dengan nilai ‘etis’ yang sayangnya disepakati oleh komunitas manusia (sebagian menolak). Etis bersifat elatis tak madeg layaknya ‘dedeg’ yang menjadi akhir nasib sang padi.

                Gila terbuat dari manusia dan sudah selayaknya juga tak lepas dari sifat kemanusiaan, betapa banyak orang gila lebih beradab dari manusia ‘waras’. Setiap orang berhak menggoreskan imaji pada sebuah kanvas, tentunya dengan guratan beserta warna-warni hati.  Maka yang perlu dilakukan adalah menambah kamus kosakata pemahaman perihal pola tingkah manusia, jangan-jangan manusia memang belum mengerti akan kemanusiannya. Buktinya? Orang gila berani masuk masjid! Bagaimana dengan label orang “waras” yang kecut pada status persamaan denga orang gila? Bah…. Siapa yang mau dipersamakan dengan orang gila, gila loe ndro! Mari berjudi label ‘gila’ atau label ‘waras’ yang lebih manusia!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Jejak Temu