Bingkai Kosong Harapan*

Terbelalak ku buka sms, dengan rasa penasaran tingkat akut. Pasalnya si pengirim telah tercap olehku sebagai orang yang tak mau menggubris sampahanku. Kok kesannya main hakim sendiri, menjatuhkan cap segala. Kukira dia jujur tidak suka denganku yang memang gemar menyampah. Tak kucek-kucek mripatku dengan rasa tak percaya dibuat setinggi mungkin. “Ada apa gerangan tiba-tiba si dia sms?” Otakku berpikir mengapa, mengapa dan mengapa. Apa gerangan dia sudi membalas bualanku yang seperti itu-itu saja dan memang pertanyaan basi sekali (kali ini memang aku sulit memancingnya, entah dikarenakan media atau pelbagai alasan lain). Dengan membaca bismillah sambil melodi jantung berpacu dengan darah menyertai kubuka pesannya. Ah kok panjang tidak salah kirim kah ini? (kasus salah kirim biasanya menjadi modus paling ampuh untuk berkenalan, itu dulu). Sekali lagi kupastikan pengirimnya benar si dia, ini ada apa kok tumben! Tak seperti biasanya dengan beberapa kata sambil ditekankan tasydid, cth kata “ belumm” atau “ abangg” itu pula tak lebih dari satu baris.
Berbeda dengan biasanya, tulisan ini begitu gamblang serta tak ada penekanan. Lebih mengherankan lagi dia menulis berbait-bait panjangnya. Penelusuran dini menghasilkan kesimpulan bahwa ini sekumpulan puisi yang terlihat copy paste dari laman web. Benarkah ini tertuju padaku, berbait-bait puisi dengan pencantuman sumbernya? Entah ketergesaan atau dia menyadari plagiasi itu tidak diperkenankan, maka demi keselamatannya dicantumkan oleh si dia. “Ini apa?” kataku dalam hati. Memang dulu pernah kukirim sebait pusi untuknya, dengan mata gontai menyusun puisi yang tak indah-indah sekali menurutku. Pola kerja pupil serta retina mata yang mulai menunjukan jam istirahat memberatkan otak untuk berpikir. Kala itu dengan hp canggih hasil utangan uang fakultas. Blackberry namanya, gaul sedikit boleh kan? Bermenit-menit menyusun kalimat absurd melalui keypad sebesar kacang hijau, akhirnya tibalah terkirimkan. Tik-tok lama ku menunggu balasan, tapi tololnya aku tak melihat jam berapa kala itu. Jam 10! Betapa bodohnya membandingkan kehidupanku yang serba tak teratur dengan hidupnya nan teratur, demi hari esok telah menanti untuk dicumbui guna berdamai dengan keilmuan. Lelap jua oleh paksa sang mata yang memerah serta berkali-kali berkolaborasi dengan air mata guna mengirim sinyal, bahwa sang indra pelihat sudah lelah. Paginya, kala kedinginan membangunkan lampu hiaju berkelip-kelip. Apakah dari si dia? Ah benar sudah bangun ternyata. Responnya? “Wah bagus” reflek rasanya terbang kesana-kemari (ya iyalah buatan sendiri kan selalu membangggakan, meski jelek menurut ukuran kita). Entah itu hanya basa-basi atau semacamnya, aku cuek. Selang beberapa hari (entah pastinya berapa hari). Serta merta kubuka media sosial dan loh kok namaku tertandai olehnya. Ini ada apa lagi, eh kok ternyata semacam bait kata. Apakah terbuat oleh lembut inspirasinya? “heem” dia mengakuinya. Ohhhhhhhh…… nyatanya belakangan kuketahui itu adalah bait lagu dari Astrid yang judulnya lupa sudah. Kau kena telak, master bohong tak bisa dikelabuhi. Demi menyenangkan hatinya aku tak mengusik, selesai masalah.

Benarkah pesan itu untukku? Bait syair sekilas begitu memikat, meski sekilas melihatnya. Scroll atas bawah masih tak percaya, ini orang mau membalas syair (kepepet) ku yang dulu atau motif apa? Namun ada yang aneh dengan nada keseluruhan syair, seakan meminta belas kasihku untuk sudi kiranya kembali padanya. Idih kegeeran nian lah ambo…… hya…. Nyatanya begitu makna yang sekilas kutangkap. Sebenarnya aku yang tolol telah menyia-nyiakannya karena memang sifat ceplas-ceplos ku tak kenal unggah-ungguh atau ada alasan lain. Kok ini kesannya seperti dia yang mengejar-ngejar, oh apakah plot cerita dalam FTV baur dalam hidupku? Heranku memandangi, adakah motif lain selain memintaku dengannya? Jawabannya TIDAK ADA. Kok tiba-tiba dia mau denganku, bagaimana dengan cowoknya? Ah kan belum tentu pacar kini bisa bersanding nanti. Nanti kapan? Bukan bermaksud menjadi pihak ketiga yang telah berkuda-kuda, ancang sigap guna mengantisipasi. Ohhhhh…. Aku tidak seperti itu, narimo ing pandum begitulah adanya. Apakah keterpaksaan, atau luluhnya hatinya karena beruntung (buntung nah iya) jika mendapatkanku. Entahlah itu terserah si dia, duh kok jadi kepedean. Tak sabar ingin segera kucermari hurufnya lalu mencoba menafsirkan makna yang tersirat dari barisan kata berjajar rapi. Duhhhhhhhh…… serasa ada yang menyodok sekonyong-konyong mengenai organ vital jaringan perserikatan garis takdir pembuangan. Rangsangan yang begitu tiba-tiba lantas menggerakan otak, kedap-kedip  kedua katup mata bergerak dengan nada beraturan. Loh kok dibawah selambu? Ngung, ngung, ngung dengingan sang nyamuk semakin membuatku pulih. Eh ternyata semua itu hanya bongkahan harapan kosong berbingkai mimpi. Auk ah……


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu