Nomor Stambuk, nomor legenda.

Dunia medsos mendadak heboh dengan nomor stambuk beserta riwayat hidup tatkala di pondok dulu, lengkap dengan lika-liku jalan yang ditempuh. Kebanyakan postingan lucu, hingga mengejangkan perut. Masing-masing “mantan” santri atau alumni pondok berlomba menunjukan sisi unik dari kenangan di pondok dulu. Kata-kata yang tidak asing didengungkan, seperti baqoyat, proletar, bondet, insan siqoh, gholat, dan masih banyak lagi. tentunya, kata-kata ini merefleksikan nostalgia, beserta kenangan yang terbawa.
Bagi sebagian orang yang tidak mondok, bahkan santri pun belum tentu familiar dengan kata stambuk. Sebenarnya apa stambuk itu sendiri? Ada baiknya stambuk diperkenalkan sebelum sebagai muqaddimah dari sebuah perjalanan. Nomor stambuk adalah nomor induk santri yang diberikan setelah sang santri dinyatakan lulus. Tidak semua pondok memiliki nomor stambuk, bisa juga memakai istilah nomor induk santri dst. Nomor stambuk menunjukkan jumlah santri yang pernah dan sedang mondok di pondok tersebut. Istilah ini hanya ada di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, sebagai alumni nomor stambuk saya adalah…………………………… eits, rahasia.
Untuk dapat mendapatkan nomor stambuk, para calon santri digembleng dengan beberapa pelajaran. Berbeda dengan sekolah lainnya, yang mengandalkan nilai UAN atau terkenal DANEM. Pondok Gontor memiliki standar baku mandiri, jadi semua calon santri dapat mencoba ujian yang dilaksanan.
Adapun pembelajaran bahan baku ujian biasanya diadakan tiga bulan sebelum ujian dilaksanakan. Tergantung bagaimana para calon santri datang untuk mendapat pendidikan. Kalau dalam kalender  nasional biasanya periode pendaftaran ramai pada medio juli agustus, di mana masa ujian dan pembagian rapot tlah usai.
Selain mendapatkan pengajaran mata pelajaran yang akan diujikan, para calon santri dididik  selama 24 jam untuk membentuk karakter, sikap, kepribadian dan mental. Biasanya kegiatan ini dilakukan di kampus 2 Madusari, Siman, Ponorogo. Namun semenjak medio tahun 2013 an kebijakan ini berubah. Berdasarkan jumlah santri yang terus membeludak, akhirnya kampus 2 tidak lagi mengurus perihal calon santri. Lebih dari itu, malah menjadi kampus lengkap dengan kelas satu sampai enamnya.
Konon, perlu jihad untuk mendapatkan sebuah nomor stambuk. Karena di Gontor mengajarkan percaya diri, untuk menyontek sanksi berat siap dikeluarkan. Dari skorsing setahun, sampai diusir.
Eh, panjang juga membicarakan masalah stambuk. Marilah kembali ke inti permasalahan. Nostalgia memang susah untuk dibendung, kata dan jari bergerak sendiri. Apalah daya…
Sebenarnya apa yang terjadi sehingga masing-masing alumni berlomba memberitahu nomor stambuknya beserta kisah heroik nostalgianya yang membuat terpingkal-pingkal. Ternyata, salah satu sumber menyatakan ini sebagai bentuk dukungan kepada Kiai Pondok Gontor yang akan dilaporkan ke polisi perihal ceramah “meresahkan” pada suatu waktu ketika reuni abu sittin di Malang.
Sebenarnya bukan pertama kali para alumni Gontor kebakaran rambut mereka. Sebelum peristiwa ini postingan kecil tentang ceramah Pak Hasan, Kiai Gontor beredar di media sosial. Isinya tidak lebih terkait kepemimpinan. Dalam ceramahnya Pak Hasan ngendiko ….” jika seburuk-buruknya muslim akan masuk surga, dan sebaik-baiknya non muslim akan masuk neraka”……. kurang lebih seperti itu. Sekilas, tiada yang salah dengan kata. Normal-normal saja. Semua itu menjadi tidak biasa tatkala sebuah akun memposting cuplikan video menambahkan kalimat seakan “menyepelekan”, menyayangkan dan sekaligus menyindir ujaran Pak Hasan saat itu. Momen itu sendiri adalah pembukaan rentetan acara kesyukuran umur pondok yang genap 90 tahun. Bertempat di masjid Istiqlal, yang notabennya adalah masuk dalam kekuasaan pemimpin non muslim AHOK. Padahal di situ hadir Djarot, wakil gubernur Jakarta.
Semua berjalan biasa saja, hingga hari itu berbulan-bulan sejak ceramah atau kata sambutan itu mendadak cuplikan video itu diunggah oleh sebuah akun. Boom. Ramailah media sosial. Ah, beginilah politik. Ketidakterimaan atas kekalahan dari simpatisan Ahok berimplikasi pada pencarian kambing hitam. Ini masalah lain, yang benar-benar ada oknum yang ­gotak-gatike saja. Mencari pembenaran atas perbuatan, bukankah manusia selalu membutuhkan kesalahan orang lain untuk menganggap dirinya benar.
Beberapa teman alumni berdebat dimanapun berada .  Grup Whatsapp ramai. Facebook tak mau kalah. Instagram sesak dengan makian para alumni. Semua gara-gara postingan kerikil dari sebuah akun, yang aslinya tidak perlu untuk direspon lebih jauh. Ala tubali naam sul, kholas ma sya aa. Faktanya tidak semudah demikian, beberapa teman alumni yang merasa Kiai mereka dilecehkan lantas mengambil tindakan pemblokiran terhadup akun tersebut. Hanya sebatas pemblokiran. Sempat berdengung keinginan untuk melaporkan masalah ini ke polisi, nyatanya tiada tindakan konkrit. Perlahan dengan pasti masalah menguap. Hal ini diperkuat dengan Pak Hasan yang nampaknya tidak berkeinginan untuk menjawab postingan profokasi tersebut. Lengkap sudah. Mungkin Pak Hasan sendiri menganggap profokasi ini adalah hal yang biasa, setidaknya pengalaman itulah yang menempanya menjadi pengasuh pondok Gontor yang tangguh. Cukup dengan produk alumni yang setiap tahun Gontor telurkan menjawab kerguan berbagai pihak. Hampir lini perlini terdapat alumninya, kemampuan adaptasi yang tlah tergembleng sejak di pondok dulu menjadi modal yang berharga untuk survive di belantara kehidupan.
Meskipun tidak ada dawuh atau intruksi dari Pak Hasan yang nampaknya cuek dengan isu tersebut, nampak  kejadian ini tidak bisa terhapus dari memori kolektif para alumni. Berbicara masalah surga, adalah berbicara masalah agama sebagai empunya. Bukankah tiket surga adalah beragama? Karena hanya agama yang mengenal istilah surga. Tiada kamus surga dalam kamus ateis. Masing-masing agama memiliki standar perihal siapa saja yang berhak masuk surga dan neraka.  Konsep surga pun berbeda satu sama lain. jadi, sah-sah saja Pak Hasan menyampaikan apa yang tertera dalam rujukan Islam bahwa seorang muslim pasti akan masuk surga. Juga lihatlah mayoritas pendengarnya adalah beragam Islam. Nah, dalam perjalanan masuk surga ini terkadang perlu singgah di neraka untuk waktu yang tidak ditentukan. Bukankah itu kuasa absolut Allah yang tidak bisa diinterupsi. Wallahu a’lam.
Agama Islam menjamin setiap manusia yang bersyahadat masuk surga. Terlepas bagaimana perilakunya, syahadat adalah koentji surga. Itu saja. Sekilas jika kita melihat di kriteria penghuni surga agama lain tentunya hampir sama. Kristen, setidaknya mensyaratkan memeluk Kristen untuk syarat mutlak menjadi penghuni surga. Begitu pula agama lainnya yang mengenal konsep surga. Tidak diketemukan sabda kafir boleh masuk surga, atau katakanlah pemeluk agama lain memasuki surga agama yang berbeda. Terlepas nanti surga mana yang benar-benar surga, siapa yang masuk surga. Apakah kita? Biarlah Allah yang menentukan, sebagai hamba yang baik sudah seharusnya kita meraih cintanya dengan beribadah dan menjalani segala larangannya. Cukupkah itu? Masih banyak poin lain yang perlu penjabaran, tapi tidak untuk kali ini.
Sebenarnya sedikit menyayangkan beberapa tanggapan alumni yang memilih menghujat dengan kata makian di media sosial mereka di lain kesempatan. Lantas apa bedanya kita dengan mereka, mana citra alumni? Sejenak mari kita merenung akan batas media sosial yang semakin mengikis antara dunia privasi dan umum. Dengan memposting konten ke media sosial yang umum. Kita seharusnya harus mawas diri, sadar akan berbagai kemungkinan. Jangan sampai membiasakan untuk memposting hal-hal remeh temeh, sehingga menjadi kewajiban yang tidak tersadari kecuali setelah melakukannya.  Mari gunakan media sosial dengan bijak, karena bisa saja kitalah penyebab dari biang kerok isu. Siapa yang tahu.
Sudah berapa kali beberapa pihak meminta untuk menahan diri, hingga dawuh Pak Hasan yang ditunggu-tunggu keluar. Sedangkan yang ditunggu tidak merespon, untuk melawan kita setidaknya butuh taktik. Namun untuk saat ini cukup tunjukan peranmu bagi sekitar saja sudah cukup, itu cukup untuk menyumpal mulut mereka. Setidaknya ada asas manfaat yang tertularkan, sebagai wujud nyata kontribusi alumni Gontor bagi kemajuan Indonesia secara global.
 Gontor pernah dicaci, dihujat semua pernah dilalui. Akan tetapi lihatlah antusiasme para orangtua yang tetap memasukan anakya ke Gontor. Lihatlah statistik, betapa ribuan calon santri mendaftar untuk menjadi santri di Gontor. Lihatlah bagaimana harapan tergantungkan di antara kebobrokan sistematika pendidikan di negeri ini. Di mana akreditasi lebih penting dari ruh pendidikan itu sendiri. Gontor memang tidak pernah mendapatkan predikat sekolah elit berakreditasi A dari pemerintah, tapi kiprah alumninya banyak mendapat pujian. Itulah salah satu keunggulan Gontor, pendidikan karakter yang dibalut dengan sisi religiusitas yang mampu berlayar di berbagai tipe cuaca laut. Terkesan subyektif, tepat. Sebagai alumni memang susah untuk obyektif. Terkait sistem pendidikan Gontor, kita bicarakan pada kesempatan lain. Suatu hal yang aneh, bagi lembaga pendidikan yang tidak terlalu tunduk kepada pemerintah. UAN tidak ada, yang ada hanya persamaan ijazah dengan SMA. Berapa wali santri pernah mempersoalkan terkait status ijazah, tapi tengoklah alumninya yang tlah bercokol di kampus-kampus negeri maupun swasta. Bukankah itu cukup bukti.
Gontor tetap kukuh dengan sistemnya yang bertahan lama, sistem yang konon diajukan oleh salah satu Trimurti pendiri Gontor KH Imam Zarkasyi untuk konsep pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan. Konsep itu ditolak, dibawa pulang. Lalu, diterapkan di Gontor. And the rest is history.  Kepercayaan tinggi terhadap konsep pendidikan Islami itulah yang sekarang banyak dirindukan oleh pendidikan negeri ini. Andai, jika konsep itu dilaksanakan pada semua sekolah di Indonesia. Aih, tentu kita melihat Indonesia yang benar-benar Macan Asia.
Terlepas dari itu semua, dukungan dengan nomor stambuk yang konon menunjukkan jumlah santri Gontor untuk mendukung program tagar #saveulama karena ancaman pihak yang mengaku loyalis Jokowi sebagai pelapor ke pihak kepolisian.  Setidaknya ada nostalgia dari kejadian ini yang sulit untuk tercipta jika tidak kerana kejadian ini. Nomor stambuk menunjukan umur yang perlahan menggerogoti. Juga untuk mengetahui siapa yang be em = bani mujiddin sebutan bagi santri yang tidak naik kelas. Ah, masa-masa itu, selalu indah untuk dikenang. Ajang ini bisa dianggap sebagai cerita terbuka masing-masing santri, baik yang sampai lulus maupun tidak. Entah siapa muasis ro’yun ghanam ini yang nampaknya sukses menampilkan sisi unik dari perjalanan santri.
Pak Presiden, mbok ya itu simpatisannya jangan bikin malu. Kecebong hendak menjadi Macan di musim kemarau, mbok ya dikandani. Lek kate terkenal ora usah nyatut jeneng wong. Tentunya Pak Presiden tak mau namanya ikut tercemar, sebagai pihak yang mengamini . Tapi mungkin bapak tak usah risau menanggapi kecebong itu sendiri, lha wong kecebong di Istana saja masih banyak yang belum menjadi kodok.
Saya sedang membayangkan Pak Hasan dengan suaranya yang tinggi, dengan raut wajah tersenyum berkata “Tsumma Limadza?”

Salam……

Ibnu Murtadho -------> 37075 ----> Al Azhar 202, Aligarh 10 dan 06, Regal 02 dan 09, Ewel-ewel 04 dan 02, Riyem 05 dan 02, Rosda 01, Yaman 06, 17 Agustus lt 3 01, Santalada 07, Qoah, GBS 01, Rusunawa ISID lt 3 -----> D11, B2, 1E, 2L, 3K, 4D, 5E, 6E -----> Persada s/d 4, proletar 4-6 -----> Konsulat ojo lamban/ Kiblat -----> Mudabbir akhir Rosda, Mudabbir perdana Yaman ---> Bagian Ketrampilan sie Sekretaris/583, wakil ketua/684 ---> Pengabdian Isid……………………………………………………………………….................................................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Temu

Gila Sama Dengan Waras