Siang
Siang tadi. Iya, siang tadi. Sekitar jam 13.30
we I be. Aku mengetikan untukmu pada malam hari langsung, padahal tadi sudah
niat untuk hal lain. Hm. Nampaknya, jemari dan otakku bersekongkol pada hal
lain, tidak terlalu penting sebenarnya. Ya boleh lah, sekali-kali melemaskan
jemari setelah vakum terlalu lama, terlalu lammma.
Baik langsung saja.
Seorang teman datang, dia baru saja menikah,
belum genap sebulan lah. Datang dari jauh, ingin jalan-jalan di kota
Palangkaraya, kebetulan sekali keberadaanku sedang di sini, jadi tak salah lah
membagi rezeki berupa traktiran makan. Boleh lah.
Masalahnya dimana?
Sebenarnya tidak ada masalah berarti nan serius
untuk ditanggapi, selain ya memang tadi siang kawan-kawanku tlah berpasangan.
Sah, masing-masing dengan pasangan resminya menurut KUA. Aku? Ojok takon
cuk, niat ae isih embuh nylungsep mbuh nengdi? Ditunjang dengan mimik
wajahku yang memang minta dilempari koin atau beberapa lembar uang kecil, pas
sudah. Lah emang wajah gitu dari cetakannya, dan asyik kok ekspresi seperti
itu. Natural, meskipun kata mereka mengenaskan. Bodo amat, tapi amat jangan
jadi orang bodoh ya. Heu
Kita berpose bertujuh, dengan aku sebagai
bilangin ganjil tak berpasang (saat itu). Apakah aku merasa kurang? Tidak.
Apakah aku merasa minder? Tidak. Apakah aku merasa ingin seperti mereka? Belum.
Bung, nikah bukan urusan main-main bung, banyak pertimbangan. Nikah bukan soal
bercumbu, lebih sekedar itu bung. Jika kualitasmu hanya untuk nyumbu, hmmmm
cukup tahu. Ada penyatuan dua belah keluarga, ada tanggung jawab moril dan
religius dan dan dan lainnya yang tidak mau untuk disebutkan satu persatu atau
keroyokan. Apalagi makhluk hina dina semacamku, syarat itu lebih rumit dari
sekedar pertumbuhan rambut kritingku. Yakinlah, kalau gak yakin ya minumlah air
biar tambah lancar peredaran di otak. Hubungannya? Air adalah sumber nyawa, itu
saja.
Bahkan seorang istri dari seorang teman, hayo
kalau sempet mampir hmmm selamat datang saja lah. Halo, aku gibahin kamu loh.
Boleh ya, boleh ya. Kalau kamu nemu tulisan ini boleh kok besok protes, bebas.
Ya, seorang teman istriku lantas mengunggah poto kita bertujuh di fitur story
Instagram (itu loh yang bulet-bulet merah yang bikin merusak pemandangan)
dengan disertai deskripsi masing-masing masing pasangan. Coba tebak, kira-kira
pas potoku diapakan? Halo mbak, saya gak baper, bamper, buper atau semacamnya,
eh kok pakai saya, aku ding. Aku santai kok mbak, makanya kutuliskan saja. Gak
apa toh? Ya, si mbak memberi pertanyaan “mas pasangan sampean dimana?” asli aku
loh cuek mbak. Memang pas momen itu aku berujar bahwa pasanganku belum lahir,
enjoy bos. Lantas mengapa ku ungkit-ungkit hal remeh tersebut? Ya memang aku
lagi kurang kerjaan saja hahhahaha. Padahal, ada tugas input nilai yang belum
terkerjakan. Aih mak, pukul aku mak, pukul 11.30 saja.
Setelah itu si mbak inipun menawarkan seorang
teman, yak seorang teman untuk dimakcomblangkan kepadaku. Hmmm. Hari jum’at,
seorang teman juga tidak lebih redaksinya “menawarkan” seorang teminnya (teman:
Lk, Temin:Pr) untuk dikenalkan kepadaku. Temannya, wanita berjubah dengan
jilbab besar, sungguh aku tak tertarik kepadanya. Alasannya? Sederhana saja,
tidak nampak wajah “intelektual” dari sekilas curi lirik. Hahahhahaha. (sini
mah, jagonya cari momen lirik bentar. Kalau sudah tahu, oh saja cukup). Maka,
aku katakan tidak kepada temanku, meski ada unsur penunjang lain, memang lagi
belum mau saja. Wajar, apabila kutolak maksud mbaknya untuk mengenalkan diriku
dengan seorang temannya. Dalam hati, jika nanti waktunya tiba ya bakal kucari,
tenang saja, aku normal, mal mal mal. Ketika hampir semua temanmu sudah
menikah, gak kepingin? Biasa aja lai, orangtua juga masih belum terlalu minta
cucu, jadi sementara aman.
Pernah juga istri dari seorang teman, juga
selalu menyinggung kapan punya anak, dan semoga lekas menular. Tapi kok aku
biasa saja, halo mbah selamat mampir kalau sempet. Aku iki lagi ngerasani
bojomu loh mbah, heuheu. Aku sungguh suka anak kecil, juga sungguh tak
terbesit amarah atas sindiran dari mbaknya. Kebal? Tidak. Santai saja, karena
ku tahu sebuah rahasia tentang lika-liku rumah tanggannya. Apa coba? Ya gabole
disebar dimari. Terimakasih loh mbak sindirannya, maaf sering tidak ditanggapi.
Kisah-kisah kawankulah pemantik kehati-hatian untuk masuk ke jenjang yang lebih
relijius itu, mungkin seperti itu narasinya. Kan, ngeles lagi.
Lagipula kawan angkatanku rata-rata memang
sudah hampir menyentuh angka 3, dimana aku tergolong terlalu cepat untuk
bersekolah. Jadilah seperti ini. Kok rasanya semakin ke sini, tulisanku amburadul,
kurang nendang, memang lagi agak suntuk ini otak untuk memproduksi kata-kata.
Sebenarnya ingin ku unggah malam mini, senin malam waktu palangkaraya. Ada
baiknya ku urungkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Ingin rasanya bercerita
tentang diskusi dengan seorang teman lama tentang pernikahan yang guampang
menurutnya, edyan bin gemblung katanya “kalau gak mau pacaran ya
nikah langsung” sebuah generalisir maha agung. Kan, mataku sudah mulai blerek-blerek.
Otak tak lagi konsen.
Lanjut besok ya, siapa tahu dapat susunan kata
baru.
Setelah mengumpulkan niat sebelum shalat
jum’at, aku pun membuka kembali laptop yang teronggok lesu dan tertempel debu
di sana sini. Klik. Klik, beberapa folder, lalu sampailah di folder ini.
Sungguh kata-kata yang terbengkalai, bagaimana kalau kita teruskan?
Oke, kini aku bersiap berpindah ruang kembali.
Menyambut orang-orang baru, bersiap bertualang. Ya, aku menulis sambungan ini bukan lagi berada
di Palangkaraya. Kota berjuta kenangan, karena yang memberiku kesempatan untuk
memeluh keringat untuk pertama kalinya, sungguh terimakasih.
Sekarang masih tahun dua ribu Sembilan belas,
tepatnya sudah berada di pertengahan tahun yang tidak terasa sebentar lagi akan
berganti ke dua ribu dua puluh. Ada apa dengan dua ribu dua puluh? Entahlah,
sebuah kebetulan atau apalah namanya itu, aku mengatakan bahwa itu batas
maksimal bagiku untuk menikah. Tahun itu (2020) kan menjadi saksi, semesta dan
Tuhan nyatanya mendukung. Adapun diriku sekarang memang sedang mencari, memilah
beberapa kandidat yang cocok. Berjalannya waktu (2018-2019) berjalan, pesimisku
melambung ke permukaan, hal itu tak lain didukung oleh faktor ekonomi yang
tidak mencukupi.
Kok ekonomi?
Begini, aku termasuk manusia penganut paham
keseimbangan ekonomi ketika hendak menikah. Jelas? Jadi, mengapa setahun
kemarin belum ada niatan untuk segera melangsungkan proses sakral tersebut?
Mengapa sekarang kok lebih berani? Alhamdulillah, perekonomian mulai stabil,
kini aku berani untuk menafkahi anak orang. Tahu, anaknya siapa. (waktu ku
ketik ini, tidak ada pandangan sama sekali siapa yang menemani sisa hidupku
kelak)
Bagiku, pria adalah yang bisa bertanggungjawab
terhadap wanitanya. Ijab qabul adalah pemutus hubungan si wanita dengan
orangtuanya, maka aku sangat percaya bahwa sang pengikrar ijab qabul harus
bertanggungjawab lahir dan batin. Oke, mungkin secara batin tidak bisa dilihat
oleh kasat mata. Lahir? Gamblang dan jelas sekali, bagiku itu semua tidak jauh
dari soal nafkah. Setidaknya aku kurang setuju paradigma “Nikah dulu, mulai
dari nol bersama-sama” namun hal itu terserah bagaimana masing-masing
memaknainya. Bagiku semua itu jelas, karena ijab qabul adalah penyerahan total
dari sang wanita kepada sang pengucap ijab qabul. Jelas ya?
Aku tidak memintamu untuk memahaminya, atau
sekedar mengamininya? Aku hanya mengerjakan tugasku, silakan berkomentar karena
aku siap mendengarnya? Akan tetapi tunggu, bisa saja itu ide bagus.
Tuban.
Komentar
Posting Komentar