Kilas Balik, Ketika Semua Menjadi Masa Lalu
Masih saja sulit untuk menulis,
sungguh ini gejala sangat terlalu. Kopi abal-abal telah tertuang pada secangkir
gelas, setengah panas. Bisa disebut tidak panas sekali, hangat sedikit. Alunan
lagu sang legenda, Nicki Astrea menemani. Sungguh terlalu, hanya tulisan ecek
ini yang berhasil menarikan jemari membentuk susunan aksara. Sungguh terlalu.
Niat pagi untuk merivisi
proposal, kandas sudah. Ini bukan bentuk pesimistis, dari dulu juga angan
hampir sama dengan bualan gak yo ngono cuk? Yap. Tahi memang, tiada arti
sebuah rencana. Keinginan menggebu, kemalasan lebih menggebu dari dentuman
melodi pemekak telinga. Hassuuu. Iki tulisan opo? Kok koyo ngene?
Entahlah, ini di luar kehendakku. Jemari menari disponsori oleh kemampuan
motorik otak untuk menggagas pembelotan ini. benarkah aku yang menulis ini?
Entahlah. Ini benar-benar di luar kuasaku.
Sampah masih menumpuk, minta untuk
dibuang. Masih dengan rutinitas sama yang membosankan. Bangun pagi kesiangan,
sepatutnya bangun setengah siang. Ini lebih dari sekedar pas. Shubuh seperti
biasanya lewat. Shubuh, momen pengubah hari yang seringkali terlewati. Padahal
sudah tidur gasiki. Sebenarnya
masih sama, sulit untuk memejamkan mata di bawah angka 9. Terlalu sore.
Melodi gitar menyalak,
mengaung-ngaung di telinga memberi jeda
Nicki Ardilla menarik nafas.
Burung-burung nyanyikan…..
Lagu cinta untukku……
Agar hatiku dan hatimu…..
Merasakannya….
Lihatlah bintang di sana….
Jadi saksi cintaku yang
pertama…
Alkisah, suara mulai menghilang.
Tanda akhir sudah tiba, lagu. Masih ku teguk sisa kopi abal-abal yang mulai
mendingin. Benar-benar mentok, tiada kata yang terlintas. Bagai nelayan yang
kehilangan arah, yang tak tahu kemana. Persis itu Nicki Ardilla. Sejalan dengan
rasa yang kini hinggap, menclok seperti timbunan tai merusak citra. Wes,
embuhlah.
Tenggorokan protes, beruhuk-uhuk
semenjak kemarin. Serik rasanya, seperti ada yang mengganjal di
kerongkongan. membuat stimulus untuk bersin yang tidak melegakan, kuampret.
Jalan-jalan lagi. Duduk lagi. Mencari inspirasi. Melongok ke luar. Hanya
hamparan tanah urug. Aih, mengapa hidupku tak berarti. Ruangan kosong.
Kasur teronggok sepi. Raungan musik menamani telinga. Hari ini panas. Sesosok
wanita mengendarai motor bermerk Honda. Berjilbab kuning, memakai terusan rok
warna hitam dengan baju berwarna kuning. Santai sekali Nampak kecepatan yang
dijalankan. Belum ada orang yang lewat lagi. sejauh memandang, hanya sarung
coklat berkelebat. Benar-benar membosankan, maafkan daku menyampah, benar-benar
menyampah.
Kebosanan akut, hingga bingung
untuk harus berbuat apa. Uang tidak bisa menjamin kekuasaan. Pakah harus ke
perpus untuk membaca buku? Merevisi proposal? Ayolah data sudah ada, tinggal
memindahkan saja. Nampaknya daku benar-benar butuh manusia, yang bisa diajak
berdebat tanpa batasan ideologi. Bukankah ilmu seharusnya di atas segalanya,
walau ujungnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh benar-benar
menjenuhkan. Berteman dengan anak pondok, terbilang sama secara ide. Ide saja,
pemikiran sungguh jauh dari panggang.
Apa sebaiknya ke perpustakaan
daerah saja ini? meminjam buku, atau sekedar membaca. Tesismu mana? Nilaimu
mana yang belum keluar? Kapan ketemu dosen pengampu mata kuliah? Ingat cuk,
koe kudu lulus tahun iki, april bisakah kau wujudkan kado terbaik untuk
ulang tahun kita? Cuk, Cok tulungi aku. Iki tenan posisine gak puenak, wes
iling-iling wong tuo jebul kui mung sediluk tok rasane. Sakeh seng ilange.
Mboh, janji april mari opo iso tenan ora, embuhlah. Malah tambah ruwet. Kok ora
iso santai koyo biyen?
Jebul wes meh jam 10, meh
madang ora kepingin. Boseni. Yo wes adus wae piye cuk, cok. Mangkat perpusda.
Aku kok koyo wong gendeng ngomong dewe, embuhlah. Utek ujug-ujug koyo ngene.
Ora iso dijelaske. Jebul wes oleh akeh. Sampahku. Wes ah budal perpusda wae. Adus,
madang. Ngisingo sisan.
Samah
Sampah
Sampaha
Assodjasip
Adsdbs
Xsama[
Emb uh
Klik simpen, jiancuk.
Sebuah catatan gundah gulana,
waktu itu. Ketika tugas akhir masih dalam pikiran.
Komentar
Posting Komentar