Kebanggaan semu di balik Batik Biru
Sebelumnya,
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 74!
Sebenarnya kasak-kusuk
ini sudah ada sejak hari sabtu kemarin. Yap, tentunya kasak-kusuk kali ini
tidak jauh dengan bau-bau upacara 17 Agustus kemarin. Hmmm, kira-kira apa ya?
Saya sengaja
memantau dunia pertwitteran, hingga muncul sebuah poto. Sebuah poto yang
mengusik bagi saya, baginya ya tidak (sepertinya) sama sekali, mengapa? Rona bahagia
tampak di wajah yang ada dalam poto tersebut. Poto seperti apa sih? Baik, itu
hanya sebuah poto beberapa orang berpakaian batik biru sambil menandai salah
satu akun pujaan manusia Indonesia. Hayo, ada yang bisa nebak akun apakah itu? Sekali
lagi, bagi sebagian orang poto itu wajar, toh berbagi kebahagian apa yang
salah?
Lantas?
Jelas, mereka
menganggap itu biasa-biasa saja. Itu mereka, bagi saya tidak. Poto itu bentuk
pamer yang mengiris hati para manusia yang tak bertepuk tangan, benar-benar tidak
punya rasa keprihatinan. Oke, sekarang mari coba perjelas lagi, apa maksud
mereka memamerkan momen itu? Hai kok anda sewot? Ya sah-sah saja hak mereka? ha
mbok meneng sek, aku durung mari ngetik Cuk!
Begini,
sah-sah saja anda beruforia setelah perjuangan panjang, akan tetapi tahukah
anda kalau gaya anda seperti itu sedikit membuat orang iri dan panas hati. Ya,
mereka yang belum berkesempatan seperti anda, itulah masalahnya. Baik, boleh
saja anda berpose seperti itu, sah-sah saja, sila. Anda boleh mengunggah itu di
media sosial, tapi tidak usahlah itu menandai akun itu, akun itu pun seakan
ikut serta menyebarkan kebencian dengan menyukai tanda itu. Walhasil,
menyebarlah poto itu. Ada yang termotivasi, lebih banyak sakit hati.
17 Agustus
belum merdeka, karena ada rasa pamer dalam diri mereka!
Siapa yang
tidak bangga, kerja keras terbayar lunas, apalagi kalau bukan kerja yang jelas,
gaji bulanan dan pensiunan. Betapa tidak menggiurkan?
Bagi saya,
batik biru adalah kebanggaan semu. Orangtua boleh bangga dengan anaknya akan
hal itu, akan tetapi saya banyak terusik oleh kepameran mereka yang secara
tidak langsung menyindir anak-anak orang yang belum sukses. (Sukses di sini
sering diasosiasikan dengan lulus itu) Sungguh, bersyukur yang riya sekali. Maka,
seringkali saya menghindar kata-kata “Sukses” entah dalam kesempatan
apapun.
Kembali
lagi, boleh bangga dengan menggunakan batik biru itu, boleh sekali, toh itu hak
anda saya bisa apa? Akan tetapi pesan saya, mari jaga hati masing-masing dari
sifat pamer. Jika dilihat dari poto yang diunggah oleh salah satu akun dan
serta menandai akun pujaan manusia Indonesia itu, jelas itu pamer (tanda
eksistensi). Secara tidak langsung akun tersebut sangat ingin menunjukan
dirinya kepada semua orang, inilah saya …………………………… yang ditempatkan di sini, lalu
apa sebenarnya maksud akun B.. itu menyukai, sehingga tidak langsung ikut
menyebarkan kesombongan tersebut. Saya saja sesama anggota, (meskipun
belum membeli batik biru tsb) merasa hal itu kurang etis untuk disebarkan
(menyukai konten, setidaknya ikut menyebarkan) anggapan saya jelas, menjaga
hati bagi teman-teman lain yang belum beruntung. Itu saja, tidak lebih.
Perjalanan
masih panjang, setelah kini anda sudah meraih apa yang anda idamkan, ingatlah
perjuangan untuk menggapainya. Semoga tidak kendor, jangan lupa jaga perasaan.
Sudah,
seperti ini saja kasak-kusuknya?
Mbok
yo ben.
Komentar
Posting Komentar