Ngedumel, sambat dulur.



Tulisan ini sangat subyetif, apabila dibaca lain waktu hanya akan menyunggingkan senyum di bibir saja. Oh aku pernah curcol seperti ini ya? Setidaknya ini adalah pembenaran dari sebuah pemikiran negatif, “setidaknya”.
           
Betapa anehnya hidup, usaha agar tidak merepotkan orang lain malah direpotkan oleh orang lain. Apakah ini semacam kesempatan untuk menanam amal? Apakah hanya sebuah kebetulan, karena tiada yang abadi selain kepentingan?
           
Aneh sebenarnya jika memisahkan kehidupan dengan kepentingan. Untuk kehidupanlah manusia berkepentingan, napas, makan, tidur, uang menjadi tolak ukur. Manusia rela melakukan apa saja agar kepentingannya terpenuhi, walau harus merebut hak manusia lain misalnya. Dalih kebutuhan mendesak lah, keadilan lah atau dalih yang sering kita dengar “perut” atau hawa nafsu. Benar kata Rasulullah, bahwa musuh terbesar manusia adalah hawa nafsu. Nah tulisan ini juga berdasarkan hawa nafsu ingin dibenarkan. Ya mungkin karena buah kekesalan, ego dari sebuah pemikiran pendek gara-gara tidak adanya uang di kantong.
           
Hari itu datang sebuah sms dari saudara, intinya mohon bantuan uang untuk dipinjami. Ku jawab oke ini ada uangnya, masalah selesai karena uang sudah diamankan. Ternyata yang berhajat tidak mau menghubungi terlebih dahulu, hingga perlu umpan untuk mengailnya? Ikankah? Setelah ku coba memulai ternyata, jawabannya enteng dia pulang. Pulang membawa masalah baru. Kenapa masalah, karena konfirmasi perihal penggunaan uang ini dialihkan, sedangkan akadnya peminjaman ke dia. Aku bukan takut uang itu tak kembali, tidak. Lambatnya  masa respon membuat peluang uang yang telah sediakan berpindah tangan sangat besar. Buktinya uang itu berpindah tangan juga, raib sudah uang tersebut. Raib karena tidak mungkin orang berhutang besoknya lantas ditagih. Mustahil orang berhutang karena ada uang, orang berhutang karena kebutuhan mepet. Iya kan? Meskipun harus berurusan dengan rentenir, bunga bank dan bunga-bunga harum fatamorgana lainnya.

Orang menganggapku sebagai manusia yang mustahil tidak punya uang. Banyak uang bulanan, tapi mereka tidak pernah mau tahu kebutuhan kita. Ambil misal saja ketika kita mendapat musibah, menghilangkan barang teman yang harga gantinya separuh uang saku. Perlukah hal seperti itu di publish? Perlu ada laporan, kudu update status di facebook, twitter, path, bbm, instagram (dengan gambar uang lantas diberi caption yang panjang). Aku rasa itu semua tidak perlu dilakukan.

Ketika kau lapar apakah temanmu mau tahu bahwa kau lapar? Bahwa uang yang dipinjamnya itu bisa kembali waktu itu juga ketika kau lapar? Ah mbok ya kenyang sama-sama kelaparan sama-sama, haruskah begitu? Aku rasa tidak, asam garam menghadapi tipikal manusia merubah pandanganku perihal itu. Yang benar lapar sama-sama kenyang sendiri- sendiri, bukankah seperti itu manusia hakikatnya. Senang diambil sendiri lapar dibagi-bagi. Entahlah……

Keluargamu, siapa di tanah rantau ini? mereka minta dikunjungi satu persatu, tanpa membalas mengunjungi. Ah angkerkah diriku ini, sehingga banyak manusia yang enggan untuk berkunjung. Vonis yang kejam, ah apa ku bilang tulisan ini buntut kekesalan subyektif yang harus dirangkaikan kata. Siapa lagi yang dapat menampung sampah-sampah manusia kalau bukan huruf? Manusia mana yang hendak mendengarkan, setidaknya untuk menit ini? Negatif sekali pikiranku ini.

Pondok mengajarkan kemandirian, olah diri, kesederhanaan, keikhlasan, kebersamaan, ukhuwah Islamiyah, dan lain sebagainya. Lagi-lagi ini subyektifitas diri yang harus dikalimatkan (meskipun tata bahasanya tidak sesuai dengan EYD). Tak apalah yang penting harus ditulis supaya ada rasa yang terplongkan, tidak hanya membeku di otak saja. Oke, kembali ke masalah pondok. Heran, mengapa masih saja ada wali murid yang menghawatirkan sang anak tidak bisa jajan di pondok, padahal jajan bukanlah kebutuhan primer. Jajan adalah kebutuhan sekunder, kebutuhan primernya adalah makan. Setidaknya jika sang anak di pondok, sudahlah tidak usah khawatir perihal gizi. Cukup dengan rumus sang anak doyan makan apa saja yang telah disediakan oleh pihak pondok. Toh juga makanan yang disediakan halal. Ya bisa dikatakan makanannya sederhana, cukup dengan tahu, tempe bahkan kerupuk ditemani sayur atau sambal. Cukup sederhana. Tidak enak? Mau enak? Jangan masukan sang anak ke pondok, toh juga apa yang dimakan oleh sang anak sama dengan apa yang dimakan oleh anak lain. Bukankah kenikmatan makanan terletak pada saat kelaparan?

Ada tiadanya uang anak pondok bisa makan, asal narimo ing pandum. Jajan nomer sekian lah? Seharusnya kudu banyak bersyukur, masih bisa makan tiga kali sehari. Lihatlah ke luar banyak manusia yang hanya bisa makan sekali sehari, sekali dua hari bahkan ada yang makan sekali seminggu. “Aduh kasihan anakku gak bisa jajan”…. Emang hidup di pondok gak bisa jajan mati? Enggak kan? Aku dan temanku bisa membuktikannya, bahkan aku bisa menabung untuk membayar spp dan uang makan bulan berikutnya. Kenapa orang lain tidak bisa? Ah iya kondisi tumbuh kembang anak berbeda, alasan basi. Gini ibu atau bapak, memang susah memberi pelajaran sang anak agar terbiasa narimo ing pandum. Setidaknya percayalah bahwa sistem pondok yang sedemikian rupa akan membentuk mental berkepribadian sang anak. Buang jauh rasa kasihan, tanamkan kepercayaan kepada pihak pondok perihal proses. Jika masih ada rasa iba, maka bisa dipastikan para orangtua benar-benar belum rela melepas anaknya di pondok. Rela dikata, hati menderita. Ah sudahlah..

Keluargaku, bapak ibuku mengajari agar tidak tergantung kepada orang lain selain mereka. Prinsip itu masihlah teguh ku pegang, meskipun itu keluarga dari pihak bapak atau ibu sendiri sangat berbeda dengan pertolongan oleh bapak atau ibu kita sendiri. Lucu ah, ketika kau berharap (selalu) setidaknya ada saudaramu yang mengunjungimu di pondok dulu? Pepes kosong belaka, “ eh jaman dulu kan sekarang beda, dulu perekonomian susah sekarang mudah”… oke alasan diterima. Pertanyaan selanjutnya, pernahkah mereka ikut membantu bapak barang bertanya “ si fulan ini uang jajannya sudah habis belum, gimana kabarnya?” ah lagi-lagi harapan hampa. Maka ku katakan sama sekali tidak ada rasa ingin tahu bagaimana saudaranya sekarang di pondok, namun ketika salah satu anak saudaramu di pondok mereka merasa kau mempunyai andil untuk bertanggungjawab. Padahal kau tidak merayu saudaramu untuk menyekolahkan anaknya di pondok tersebut, kan subyektif lagi. Mereka juga seharusnya tahu, kau di sini juga mempunyai kepentingan lain, tidak hanya untuk mengurus anak saudaramu itu. Kalau seperti itu buat apa ada pengurus pondok, buat apa? Toh aku pun bisa melewati proses demi proses hingga 7 tahun tanpa terasa berlalu.

Apa boleh buat, resiko dari saudaramu yang ada di dekatmu. Apalagi yang dapat mereka harapkan darimu kecuali pertolongan berbentuk uang, itu saja. Ingin kukatakan untuk mengambil saja anaknya dari pondok jika kelakuannya masih demikian. Ini yang benar mana, menitipkan anaknya di pondok apa menitipkan anaknya ke aku? Tuhan kau yang lebih tahu…

Masalah saudara sedarah memang selalu memusingkan, ahay.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu