Romantika Sejarah yang Tercecer II



Lanjutan ya dari kisah romantika sejarah yang tercecer.

Kenapa perlu dilanjutkan? Agar anda tahu kemana arah opini saya akan berujung.

Bagi saya, pengajar di sebuah institusi Islam sudah seharusnya lebih bisa menyaring informasi, menyampaikan seperlunya tanpa menambahi bumbu dramatisir. Muara dari usikan saya berasal dari sebuah pondok, pondok apa? Hayo, kiranya pondok ini masih ada sangkut pautnya dengan saya. Hmmmmm. Tebak sendiri ya!

Saya maklum bagaimana trauma yang dialami oleh keluarga pondok, di mana para Kiai dicari untuk dibunuh sehingga banyak Kiai yang bersembunyi di Gua-gua oleh sejarah yang menyebut mereka sebagai antek PKI. Benarkah demikian? Jika diteliisik lebih lanjut maka anda akan menemukan fakta bahwa ada semacam penghalang dari unsur pemuka masyarakat, Kiai menjadi salah satu unsur yang mewakili, di mana masyarakat setidaknya masih sendiko dawuh  atas apa ngendiko Kiai tersebut. Kebetulan basis gerakan PKI juga dekat dengan berdirinya pondok sekarang. Konon, melalui sejarah “mulut” PKI bahkan sudah mengumpulkan para pemuka agama termasuk Kiai di masjid dan siap untuk dibunuh secara berjamaah, beruntung ada pasukan pemerintah, maka selamatlah para pemuka agama dari pembunuhan yang keji. Aduh, saya sedang menyebarkan kabar yang simpang siur juga. Boleh dibaca juga boleh tidak percaya, lah wong saya ya belum nguji kebenarannya. Masih getok tular dari lambe ke lambe eh lewat telinga dulu ding. Jadi hak anda lah.

Mari sejenak kembali ke pokok masalah, tadi hanya intermezzo.

Sejenak timbul rasa ngeri bagaimana lakunya seorang disileti tubuhnya, tahu kan silet? Itu biasanya digunakan sebagai alat cukur, nah ini digunakan untuk menyayat tubuh korban. Begitulah gambaran kebengisan para antek PKI ketika menyiksa para jenderal sebelum dimasukan ke sumur lubang buaya. Dari sinilah isu “PKI” menjadi komoditi politik yang sangat manjur untuk memukul lawan politik yang tidak sejalur dengan pemikiran dinasti baru bernama orde baru.

Guna melanggengkan sebuah kuasa maka disusunlah sejarah sebagai panduan dan peringatan supaya tidak ada lagi pemberontakan. Nah, inilah produk sejarah yang tertulis dalam pelajaran di sekolah di mana tertambat dalam memori kolektif. Hhhmmm bukankah masa kecil sangat mudah untuk fase doktrinisasi, olehnya sangat tepat jika penggiringan opini sukses.

Pembunuhan besar-besaran terhadap sesama saudara Indonesia yang menyisakan mayat mengambang di sungai, tertelungkup di sumur, tersangkut di parit tanpa penguburan jamak terjadi setelah meletusnya gerakan 30 september PKI. Mengapa sesama saudara? Mari tengok lebih lanjut apakah mereka bukan penduduk asli Indonesia, mereka toh hanya memiliki ideologi yang beda. Selainnya sama saja, berkulit sawo matang, bermata coklat, berambut hitam dan dan dan lainnya.

Apakah mereka yang terbunuh 100% antek PKI? anda tidak akan menemukan jawaban ini. Seberapa besar pun sumber daya yang dimiliki, jawaban ini tak kan pernah bisa terjawab kecuali “IYA” yang sayangnya saya tidak yakin semua yang terbunuh adalah antek PKI. Benar tidak ada data yang mendukung, bukankah sudah disebutkan zaman orde baru PKI menjadi  “jimat” untuk mendapatkan apapun. Misalnya, si A tidak suka dengan si B. Maka dengan mudah disebarkan lah isu bahwa si B adalah antek PKI, sisanya serahkan kepada masyarakat sebagai hakim rimba.

Kemunculan film senyap, tahu kan? Film dokumentar yang bercerita tentang pelaku pembantaian PKI, korban dan juga keluarga korban yang ditinggalkan menjadi sebuah problematika tersendiri. Banyak manusia yang sangat penasaran ingin menonton, sebaliknya banyak juga manusia yang tidak ingin agar film ini ditonton secara berjamaah atau nonton bareng. Alasan bagi mereka yang mengatakan perlu menonton adalah membuka tabir sejarah yang tlah lama tertutupi, fakta dari sebuah sudut pandang sederhana. Sedangkan mereka yang melarang penayangan berpendapat bahwa film ini bisa menjadi momentum kebangkitan PKI dan menarik simpati dari khalayak ramai. Benarkah?

Saya sudah menonton, ya namanya film dokumentar, ya begitulah. Penasaran? Tonton sendiri, sekarang di internet banyak. hmmmmm di mana mereka ya yang melarang-melarang nonton bareng? Kok bisa film senyap bebas berkeliaran di internet. Apa logikanya begini? Boleh nonton sendiri, asal tidak bersama-sama. Masalahnya bersama-sama kan kalau sudah ditonton berdua itu sudah masuk “bersama?” bukan sendiri lagi. hmmmmmmm mauk.

Saya tertarik dengan kisah seorang ibu pada film tersebut yang ditinggalkan oleh putranya setelah terbunuh oleh mereka yang menyebut dirinya jagal PKI. Masih terlihat jelas bagaimana terpukulnya hati seorang ibu yang ditinggalkan oleh anaknya, apalagi tidak tahu rimba bagaimana tarikan nafas terakhir dan di mana anak itu meninggal. Hmmm spoiler lagi, tonton langsung film senyap ya. Kalau tak punya kuota usaha, gitu aja kok repot.

Kembali ke pondok ya, setelah tamat dari pondok para alumninya pun masih banyak memiliki pendapat yang sangat benci dengan yang berbau PKI. Jujur, saya juga membenci sikap mereka. Akan tetapi, saya juga kasihan kepada keluarga korban mereka yang disebut PKI dan keluarga korban pembunuhan PKI itu sendiri.

Trauma keluarga mereka yang disebut PKI masih terbayang dalam benak mereka, adakah rasa dendam? Pasti ada. Rekonsiliasi memang telah dilakukan, bagaimana merangkul mereka sebagai komunitas majemuk dari rumah bernama Indonesia, bukan mengucilkan mereka dari sebuah pergaulan yang akan mengakibatkan bom waktu. Pemerintah dahulu yang berbuat pemerintah setelahnya terkena getah, maka sudah sewajarnya memberikan hak-hak mereka sebagai warga Indonesia.

Oh ya, mumpung masih ingat. Saya juga mengutuk kebengisan PKI untuk pembunuhan yang mereka lakukan terhadap beberapa pemuka agama. Tapi, apakah darah harus dibayar darah? Semoga selamanya tidak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu