Maklum..lagi...
Titik berat
sekaligus ringan dalam kehidupan ini adalah memaklumkan “maklum”. Entah sudah
berapa kali kita diharuskan memaklumi, keadaan, situasi, blablabla yang telah
lalu lalang dalam jejak langkah. Tak usah jauh lah, masih terngiang kan
kata-kata sakti waktu kecil? Semoga sadar sekarang atau lekas sadar segera.
Demi kata stabilitas dan keamanan nasional betapa mudahnya memberakkan nyawa
manusia. Separuh warga “Indonesia” berakhir tragis tanpa tindak lanjut dan
usang dilupakan. Ini demi maklumat kestabilitasan nasional loh ya, bukannya
kestabilan kekuasaan ya bapak? Apakah Asal Bapak Senang masih berlaku? Masalah
yang tak lekang oleh waktu sama dengan proyek perbaikan jalan di Pantura yang
menjadi proyek sampai hari kiamat.
Jika merasakan pernah tinggal di Kota ya setidaknya pernah
mampir pasti pernah melihat atau sekedar merasakan persaingan ketat dalam
banyak aspek. Terlihat jelas pada persaingan ketat tatkala lampu berubah hijau.
Masing-masing ingin lekas sampai tujuan, persetan dengan orang lain yang
penting tepat waktu gaji tidak dipotong. Mungkin kita hanya geleng-geleng dan
memaklumkan serta meluluhkan hati demi memahami keadaan kekinian. Dampak “harap
maklum” bahkan bisa dikatakan ada di setiap tempat bumi berpijak. Mengapa?
Tidak tahu apa penjelasan logika dari proyek jalan pada musim hujan, bak orang
diabetes yang masih suka melahap makanan berasakan manis. Nah untuk ini kita
harus maklum lagi bukan? Bukankah suatu euforia tersendiri bagi anak kecil yang
kebetulan bertepatan sama dengan tempat terlahirkan kedunia insan bernama Ibnu
Murtadho. Satu tahun ada 365 hari lalu mengapa harus bulan ini, tanggal ini
pada waktu musim hujan pula?
Terbaru penebangan pohon yang dianggap menganggu keindahan jalan
atau dalam bahasa lain mencerahkan jalan? Jalan mana yang dicerahkan apabila
penerangan saja masih milik rumah masing-masing? Lagi… demi kepentingan desa
dimaklumkan serta jika perlu ikhlaskan apa yang ada pada dirimu demi
kepentingan bersama, kurang lebih seperti itu lah bunyinya. Sepertinya jika
dianalogikan dengan tukang PLN ya agak nyerempet-nyerempet sompret gimana gitu.
Persamaannya sama-sama aparat Negara dalam skala kecil, pihak desa merupakan
aparat terbawah sama dengan pekerja pada PLN. Mekanismenya saja yang berbeda,
pihak PLN izin dahulu meski jelas-jelas menebang pohon jika melewati tanaman
milik orang. Satu lagi asal tebas dengan berdalih kepada Undang-undang Desa,
tapi bukankah kita bukan manusia bisu yang masih bisa diajak bicara. Bahkan
orang bisu pun dapat berkomunikasi dan dapat diajak berpikir tentunya dengan
caranya sendiri. Sekali lagi kita harus maklum. Berapa kalikah anda memaklumkan
hari ini?
Komentar
Posting Komentar