Sebuah ang..... an
Ah lagi-lagi hari ini tiba, dan tibalah untuk
bercerita. Setelah sekian lama, lemak malas semakin menumpuk. Apalah itu
namanya, semua hal terasa berbeda jika tiada wasilah tulis sebagai media. Sudahlah.
Hari tlah berganti, tak bisa kuhindari. Tibalah
saat ini.... eh, kok malah nyanyi. Piye to ger? Masih ribut
dengan diksi tesis ya? Bualan, harapan semua ditinggal kata “an” jadilah? Hah. Bukankah
sudah sepakat setidaknya untuk tidak membahas tesis, enggak bosan didera
pertanyaan “kapan lulus?” sambung menyambung. Hari ini tutup, mari bicarakan
hal lain.
Ah. Berhubung hari tlah merabukan diri, maka
maafkanlah tulisan yang menyaru selasa, alias cerita tentang hari selasa. Jadi
maafkanlah tulisan yang menselasakan diri.
Matari berjalan dengan bengis, cepat menukik
dari barat ke timur atau sebaliknya. Ah, mengapa dengan memori otakku? Semua nampak
berjalan sesuai rencana? Rencana mana? Rencana untuk menyelesaikan kewajiban
yang hanya berkutat di teori wacana saja. Menguap dalam balutan horoskop
kata-kata indah, aih lelah. Skip.
Selasa, tanggal 6 juni 2017 hari biasa bagi
sebagian orang. Hari selasa hanya bagian satuan hari dalam seminggu, berada
setelah urutan senin. Bisa disebut sebagai hari ke dua, sebenarnya ke tiga. Ingat
minggu merah, selalu berbeda. Bukankah yang berbeda d\lebih pantas menyandang
nomor pertama. Lihatlah kiper sepakbola, nomornya pasti 1 kebanyakan. Hanya sedikit
kiper pemakai nomor selain itu.
Ah, hari ini ego terangkul erat. Walau untuk
sesaat, lega rasanya. Hari-hari di mana rencana menjelang eksekusi di
tunggu-tunggu, klimaks pada hari perjanjian. Ya, komunitas kelas yang dulu
sering kumpul ketika kuliah akhirnya bersua kembali. Meskpiun tidak lengkap,
karena salah satu personilnya berhalangan hadir, disebabkan sakit kepala yang
tak tertahankan. Oleh karena itu minum baygon, pancen oye. Tiada kata untuk
dapat mewakili rasa haru bertemu kembali, walau hanya untuk beberapa menit
saja, tapi itu sudah cukup kiranya. Aku tidak rindu, hanya haru melihat “kita”
lebur dalam canda. Ah, bukankah bertemu selalu melahirkan candu.
Hampir tidak bisa dipercaya. Bermula dari ide
yang dilemparkan, dengan respon seadanya. Tapi, ini ada tapinya loh. Lihat alasan
yang berbobot “ ayo kapan lagi kita kumpul, mungkin puasa tahun depan kita
tidak dapat lagi bersua. Masing-masing akan kembali ke daerahnya, untuk
mengabdi” lihatlah betapa mellownya dalih ajakan buka bersama ini. Terkadang
kita perlu diktrator untuk urusan kebersamaan, dengan catatan berilah baik dari
yang terbaik yang bisa kau suguhkan. Tidak perlu sempurna, karena kehadiran
lebih tepat dianggap sebagai perwalian utuh itu sendiri. Ya, dengan beberapa
orang saja maka secara “sepihak” diputuskan tempat dan waktu pelaksanaan buka
bersama. Sempat menunggu respon lama, setelah dikonfirmasi satu persatu, maka
eksekusi hanya tinggal waktu. Apalah arti dua puluh ribu, jika haru dan rindu
bersatu dalam jiwa membentuk semacam kejut emosi. Jedah dari sebuah rutinitas
kongsi fatamorgana.
Wajah cerah terpancar jelas dari masing-masing
individu. Harap-harap cemas, deadline tesis yang tinggal sebulan lagi agar
lepas tanggungjawab membayare spp menggelayuti sebagian kerut pipi. Apalah itu.
Syukur juga jangan lupa dipanjatkan, karena sebagian individu lain tlah purna
studi. Adalah sedikit perwakilan dari kelas, setidaknya untuk wisuda periode
agustus besok. Jadi selamat. Membicarakan
tugas akhir memang selalu menarik dengan mereka, walau. Eh, ada walaunya. Walau
hanya terkungkung pada angan, tiada ghiroh untuk eksekusi lebih lanjut.
Tentang kata-kata, aku terngiang oleh seorang
teman yang tlah purna studi. Aku masih ingat kata-kata itu dengan jelas, ini
jelas sebuah tamparan keras! Kata itu terngiang menampar “Kata ente kalau sudah
ada data garap tesis dua minggu cukup, lah ente piye?” jelas ini satir yang
cukup tidak lucu, lagi-lagi hanya dapat membual. Tidak lebih. Mana janjimu? Hendak
menyelesaikan tesis setelah pindah ke kos baru, sebulan berjalan tiada kata kau
rangkum. Justru, kau membuat catatan lancar sekali. Mengapa memulai tidak
semudah mengisi blog? Nah, aku memang pecundang. Jika tidak kau sudah di mana
sekarang seharusnya? ha kok nyambunge rene ki lho? Yok opo seehh?
Alhamdulillah bukber berjalan dengan lancar,
tiada perdebatan sengit di antara kalian. Maka tugasku menghantarkan,
mempertemukan sudah berakhir. Terimakasih tlah ikut serta dalam merajut tali
silaturahim, semoga dimudahkan semua harapan.
Pada sebuah perjalanan, haru rasanya bertemu
dengan kalian lagi. Dih lebay? ha mbok yo ben, seng penting kumpul. Bungah kabeh.
Masio seng mari ujian ora gelem slametan, seng penting nyawiji ing kempal niku
seng luih puenting cuk.
Selasa sore jelas menjadi momen langka, memang
sulit mendudukan kalian dalam satu majlis. Kecuali kalau ada “pelet” makanan,
maka dekatlah semua. Semua tlah berlalu. Jam. Menit. Detik. Kita kan bertemu
dengan skuad lengkap, entah dalam wadah reuni ataupun itu. Tidak usah iri
dengan kelas lain, karena inilah kelas kita. Meskipun ya jarang kumpul, jarang
main bareng. Bahkan pada saat poto kelas ada satu orang yang tidak ikut,
sungguh mengecawakan. Terlepas dari fakta manusia itu menyebalkan, sungguh itu
bukan alasan logis untuk tidak merangkul. Bagiku, manusia tetaplah manusia yang
perlu diakui eksistensinya. Tengoklah hari ini, dia juga merasa ini adalah
momen langka untuk bertemu. Aih, masih
saja kau menyebalkan teman. Keluhmu tentang hal-hal yang tidak sesuai pakem
pikiranmu selalu saja kau kritik, untung pendengaranku cukup sabar meladeni
(juga mulut yang tumben tidak terlalu menanggapi. Terkadang, kau hanya perlu
mendengar untuk tahu bahwa setiap manusia memiliki hak untuk memilih manusia lain
menjadi keranjang sampahnya. Sebagai pelampiasan kotoran yang selama ini
ditimbun. Begitulah manusia, harus menjadi tong sampah bagi manusia lainnya. Apalah
itu, aku tidak kaget. Pondok telah menggemblengku dengan beraneka karakter,
dari sabang sampai merauke. Sehingga apapun itu, aku tlah siap berpikir akan
berbagai kemungkinan yang tidak logis sekalipun.
Apapun tulisan yang terangkai hari ini adalah
refleksi tentang hari kemarin. Terlepas dengan gaya cerita monoton, inilah
hidup. Mungkin setahun lagi, aku akan kembali membuka dan membaca tulisan ini. Dan
mari tertawa. Dengan kesadaran tinggi, tulisan ini akan diposting di blog. Berarti
ide akan dipaksa masuk ke ruang publik, siap untuk menjadi wahana kritik. Setidaknya
apa yang kau pikirkan tak akan pernah hilang jika kau tuliskan kawan. Seperti itulah
hidup, menulis lepas menjadi helas kapas terbang tinggi ke atas menyaru sebagai
awan.
Ah, kalian memang berhasil memaksaku untuk
memposting tulisan kembali. Walau hanya seperti ini, tapi cukup bagiku sebagai
alarm di masa mendatang. Di mana masa-masa indah belajar pernah kita lewati. Walau
ku akui, aku lulusan entah kapan. Tetaplah berkarya. Tentukan jalan. Melesatlah.
Salam minni....
Komentar
Posting Komentar