Imam bingung, makmum mutung.
Subhanallah, pekik seseorang yang tepat berada di sampingku. Sejenak bapak
itu tetap kukuh duduk dalam keyakinannya, hingga pada suatu waktu menyerah pada
statusnya sebagai makmum. Sungguh benar-benar mengganggu shalatku yang tidak
khusyu-khusyu amat menjadi tidak khusyu sama sekali. Maaf bapak bukan
menyalahkan jenengan. Kumantapkan keyakinan, bahwa tiada hal yang perlu
di ralat. Shalat itu pun berhasil ku lanjutkan.
Ternyata shafku, termasuk orang yang peka. Tertangkap oleh telinga dan
mata dua orang yang memprotes keputusan sang imam. Seperti yang tlah disebutkan
tadi, satu persis di sampingku, satu lagi berjarak 3 orang dari tempatku
berdiri. Nah ini kok aku bisa tahu? Padahal kan dalam shalat dilarang lengak-lengok
kanan kiri, tapi maafkanlah jangkauan mata yang luas ini. Tenang saja,
hanya mata yang berputar-putar, tidak demikian dengan leher. Jadi masih disebut
sah lah shalatnya, hematku. Hematmu?
Ini dia, yakinku mengatakan bahwa orang yang satu ini (berjarak 3 orang
dariku) nampaknya memiliki daya lawan yang luar biasa. Keyakinannya kuat, bahwa
sang imam “kembali” salah dalam rakaat. Hematnya empat, kok malah jadi lima. Ya
sudah nikmati saja bonus ini. Sang bapak keukuh dengan keyakiyaannya, dengan
duduk tidak beranjak untuk berdiri menyelesaikan rakaat yang telah menyalahi
kodrat trawih empat rakaat. Bapak itu diam, perlahan melakukan salam. Menengok
ke kanan dan kiri. Benar-benar makmum pemberani.
Oleh kerana keterbatasan mata, maka hanya terlihat dua orang saja. Kedua
makmum ini meskipun memiliki keyakinan yang sama, bahwa trawih telah menyalahi
kodrat, imam teledor dengan membiarkan ada tambahan satu rakaat. Justru mereka memiliki keperbedaan cara
menyikapi. Makmum pertama (yang tepat di sampingku) memilih melanjutkan rakaat
terakhir, walau sempat ragu, terhenti beberapa detik guna berpikir lanjut apa
tidak ya. Setelah menghitung kancing baju, maka diputuskan untuk tetap
melanjutkan walau hati tak keruan ditinggal si dia. Lah loh. Sedangkan makmum
satunya memilih untuk tetap yakin dalam jiwa, walau dikhianati oleh imam yang
tetap juga melengos melanjutkan rakaat terakhir. Bapak itu akhirnya melakukakan
boikot seorang diri, tanpa ada teman yang menemani. Karena teman yang satu
meski berbeda tetap satu jua, eh maksudnya meninggalkan dia yang merana. Oh……..
Setelah takhiyat akhir, aku sangat yakin mereka sudah sedari shalat ingin
menyampaikan unek-uneknya. Benar. Lontaran kata tertuju kepada imam mantap
mereka berdua suarakan. Nampaknya Cuma mereka berdua yang protes, dan memang
hanya berdua. Ciye-ciye samaan, jodoh kali pak. Kok so sweet gitu
bagaimana caranya? Duh masnya jomblo ya, kok gitu aja gak praktik-praktik. Sejenak
laptop mati, listrik jeglek, tangan keram, mata berat, akhirnya natap
laptop, ganti lcd, duit habis gak jadi pulang. Heh…
Selain menyuarakan aspirasi sebagai makmum yang baik, mereka juga
memprotes kehadiran manusia-manusia yang berada di shaf pertama yang tidak
mengingatkan sang imam. Sungguh suatu keberanian. Perlahan suara itu padam,
karena memang hanya mereka berdua saja yang meyakini bahwa rakaat itu telah jatuh
empat dan saatnya untuk menguluk salam. Jamaah lainnya pun menganggap mereka
pasir yang berbisik. “Memang sebagian jamaah meyakini itu benar-benar empat
rakaat kok, alih-alih lima yang mereka sebutkan” kata seorang makmum yang kebetulan
berada di shaf pertama.
Jika ditarik ke garis awal, meski samar, terdapat pola awal yang terlihat
meyakinkan. Sang imam sering membacakan surat yang panjang pada bilangan ganjil
empat rakaat trawih itu. Tepat saat duo makmum ini bersubhanallah, itu pas
ketika sang imam membacakan surat yang panjang, berarti? Itu masih ganjil, dan
kebetulan jatuh pada rakaat ketiga. Hal ini kembali diamini oleh seorang makmum
lainnya. “Lha wong imamnya sehabis surat panjang pasti pendek, nah pas
ada yang bersuara subhanallah mengingatkan itu pas surat panjang. Saya kira
keputusan imam itu tepat, tidak ada yang salah.” Nah, apakah dengan shalat
trawih 8 rakaat aku bisa dinyatakan pindah aliran, itu ya terserah. Mau dikata
apa, orang yang shalat lebih baik daripada yang tidak bukan begitu stadz? Poin pentingnya
kita tahu, dasar dari melakukan perbuatan itu. Selesai.
Titik pangkal permasalahan ini adalah gagal fokusnya imam, yang dengan
lugunya memangkas rakaat shalat isya menjadi tiga. Padahal aku masbuk saat itu,
sama kurang fokusnya. Disinyalir sang imam kekurangan cairan, sehingga untuk
besok tak sarankan harus ada Aqua di samping sang imam. Kalau perlu ada
pengecekan, sebelum imam berdiri memimpin shalat. Harus kiranya dipastikan,
sudahkah Aqua membanjiri serat-serat tubuh. Jika belum maka beliau harus
diAquakan, wajib hukumnya berAqua, yang lain tidak. Katakan tidak pada korupsi.
Katakan tidak pada korupsi. Walau itu hanya satu rakaat.
Sadar akan korupsi kecil ini, sela beberapa menit ketika zikirku sedang
berusaha masuk ke pertengahan khusyu. Sontak terdengar ribut-ribut. Apakah suara
zikir? Tidak zikir di sini menurut kepercayaan masing-masing, jadi yang gak
bisa zikir cukup komat-kamit saja likay yundzor annahu dzikrullah. Ku kira
percakapan ini seputar kultum yang diliburkan, langsung selanjutnya shalat
isya. Sungguh harapan hanya menjadi harap, tanpa imbuhan “an.” Dugaanku meleset,
jatuh karena kuilt pisang. Bapak-bapak itu menyadari ada sesuatu yang salah,
rakaat shalat isya tlah terkorupsi. Maka tidak jadi sesi leyeh-leyehku, jujur
kaki ini serasa pegal yang menjalar ke kantuk yang sayup-sayup mampir tak
diundang, pergi tak di antar. Makmum bingung, imam tambah buingung. Setelah meminta
pendapat, diselimuti keraguan sang imam sendiri maka kembali shalat isya
ditunaikan lagi. Kali ini lengkap, tanpa pengurangan, perkalian, pembagian atau
penambahan.
Lalu bagaimana hukum lupa dalam shalat? Bagi yang pernah mendengar
pengajian, atau membaca hadist disebutkan bahwa jika seseorang lupa ada suatu
yang terlupa dalam shalat, khususnya gerakan, maka hendaknya melakukan sujud
syahwi. Sujud syahwi dilakukan setelah tahiyat akhir, sebelum salam langsung
sujud mengucapkan subhaana man la yanamu wa la yashu 3x dilanjutkan
dengan duduk kembali sekali, setelah itu salam langsung tanpa membaca apa-apa. Ada
riwayat lain menyebutkan dua kali sujud, dua kali duduk sebelum salam. Ini dengan
syarat sang pelaku langsung menyadari kesalahannya. Bagaimana dengan kasus ini,
sudah lama baru ingat? Nah, al imanu la yuzalu bi syakki keyakinan tidak
dapat terhapus oleh keraguan. Pada dasarnya jika sang pelaku ragu, maka
diperbolehkan mengulangnya. Sebaliknya, jika yakin maka tidak usah diulangi
juga tidak bermasalah. Silakan untuk lengkapnya buka-buka buku, bukan google
saja ya. Biar ngilmunya kaafah.
Apabila dalam shalat berjamaah imam kebetulan lupa, sudah seharusnya
makmum mengingatkan. Khususnya yang berada tepat di belakang imam. Pada zaman
Rasulullah, orang yang tepat di belakang beliau adalah sahabat yang sangat
dipercaya Rasulullah, terutama Abu Bakar yang pernah menggantikan Rasulullah
sebagai imam shalat berjamaah. Selain berperan sebagai pengingat, makmum yang
teliti dan hafal Al Qur’an sangat membantu imam yang siapa tahu lupa akan suatu
ayat, juga sebagai pengganti apabila sang imam tiba-tiba mempunyai halangan,
entah sakit ketika shalat berlangsung atau kentut misalnya. Patokan masjid/mushola
atau langgar yang bagus setidaknya memiliki pintu di samping tempat berdirinya
imam. Pintu ini berfungsi sebagai tempat ngacir imam ketika memiliki
halangan (baca: bukan menstruasi), jadi tidak mengganggu stabilitas kekhusyuan
shalat itu sendiri.
Masalahnya, banyak orang yang sebenarnya “tahu” memilih untuk tidak di
shaf pertama. Agar bisa santai lah. Panas lah. Dan beribu “lah lah lah”
lainnnya. Kritik dua makmum tadi bolehlah menyemarakan suasana ibadah ini.
Sungguh disayangkan boikot salah satu makmum (yang berjarak 3 orang dariku)
yang memilih untuk tidak melanjutkan shalat witir. Dia tetap kukuh dengan
pendiriannya, berbeda dengan makmum satu lainnya yang terus melanjutkan ibadah
shalat witir, walau dengan hati yang tak pasti. Sepertimu, didekati salah, dijauhi hati tak kuasa. Ya sebenarnya
salah atau benar, jujur aku memaklumi. Menjadi soal apabila salah namun tidak
menyadari, bahkan tidak minta maaf. Imam melakukan itu (tindakan tidak meminta
maaf atas kegagalan fokusnya), bahkan tiada kata maaf terucap untuk mencairkan
suasana ketika beliau naik ke mimbar untuk kuliah tujuh menit. Sayang, kantukku
terasa berat. Pendengaran sejenak layu, mata tertutup. Hari ini benar-benar
melelahkan.
Terimakasih Gesang, keroncongnya memang untuk cocok menyertai proses
menulis ini yang selesai pada jam setengah dua belas. Lagi lagi tidur pas
tengah malam, bukan jam Sembilan yang sering kita cita-citakan cuk.
Menghias nusantara sepanjang masa….
Borobudurnya tlah dikenal dunia…
Banyak pariwisata menyaksikannya…
Biarlah..
Biarlah tegap berdiri…
Bahagialah..
Bahagialah sepanjang hari…
Borobudurnya tlah gagah perkasa…
Menjulang ke angkasa...
Indonesia…
Salam.
Komentar
Posting Komentar