Umbel di Shalat Jumat

Allahu maghfir lii dzunubii  wa li wa lidayya warham humaa ka maa rabbayanii shagiraa…
Kira-kira apa yang salah dari baris doa ini? ketikannya, kemiringinnya, tebal huruf atau fontnya yang seharusnya menggunakan huruf arab? Atau ada opsi lain lagi yang tidak tersebut, nah itu tugas anda untuk menyebutkan.
Doa di atas sangat populer bagi pemeluk agama Islam, sebagai doa untuk orangtua. Sebenarnya tidak  khusus orang Islam saja kok yang boleh melafalkan doa ini. Saudara kristiani, budha, hindu, konghucu, yahudi dan agama yang lainnya yang mempercayai Tuhan. Toh niatan doa ini adalah untuk membalas kebaikan kedua orangtua. Bebas saja bagi siapapun yang masih menganggap jasa orangtua untuk memanjatkan doa dengan kalimat di atas. Lantas mengenai problem bahasa arab yang selalu diakronimkan kepada Islam nanti lain waktu kita bahas.
Sebelum memulai bercerita, saya mohon agar doa diatas kembali dibaca, diperiksa, usahakan tidak ada yang berubah redaksinya. Sudah? Oke. Mari otak-atik untaian doa di atas.
Hampir semua muslim mengerjakan shalat jumat, (kecuali perempuan dan  bagi yang malas mengerjakan) itu pasti. Shalat jumat pasti diselingi oleh khutbah yang penceramahnya di sebut khatib (definisi lengkapnya cari di kamus!).  Itu loh orang yang menggunakan retorika, dalil, logika dengan berlandaskan Al Quran dan Hadist. Saya termasuk orang yang telat untuk datang, sekedar mendengarkan khutbah. Apa daya terkadang hanya uman dungo, istilahnya jadi pihak ”ngamini” saja. Toh ya kalau teliti pola doa di hampir setiap jumatan itu sama. Cobalah periksa lagi.
Awalnya saya masih berpegang teguh kepada hadist, yang setidaknya beredaksi demikian
Tidak sah shalat jumatmu jika tidak mendengarkan khutbah, karena khutbah rukun shalat jumat.
Kalau salah tolong dikoreksi, karena posisi ketika proses pengetikan tidak sempat buka hadistnya. Toh, jika dibuka juga bakal lupa dimana  halamannya. Ah sudahlah. Nah berangkat dari hadist ini daku rajin ke masjid setelah azan berkumandang. Namun semua sirna dalam hitungan beberapa tahun ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Eh kenapa? Dapat hadist baru toh? Atau malah gak jumatan? Ah tidak, ini bukan soal mendapatkan ilmu baru, ini soal taqlid. Loh kok?
Bermula pada saat sang khatib memasuki khutbah kedua, lebih tepatnya sebut saja “sesi doa”. Pada sesi inilah sang khatib menutup khotbah panjangnya dengan doa yang diawali dengan “Allahu maghfir……….” Tanpa dikomandoi maka jamaah shalat jumat kompak menengadahkan tangan, hal ini tidak berlaku bagi yang tidur saat itu. Semua “tampak” berjalan lancer, lancar sekali sampai sang khatib berseru “aqim as shalah……….”. Mulus yang dianggap lancar, sebenarnya tidak. Ini pengalaman bukan dalam kondisi tidak sadar atau tidur loh ya ini, ashli pakai shad.
Doa Nampak lancar, sungguh fashih sang khatib mengucapkannya. Secara pelafalan Sembilan lah, secara arti empat lah. Nah ini dia pangkal masalahnya (ayo iki mulai serius loh gak mbulet neh).  Lancar karena para jamaah tidak ada yang protes, buktinya mereka tampak khusyuk mengamini apa yang didoakan oleh sang khatib. Entah paham tidak dengan redaksi doa yang dipanjatkan, pokoe yo ngamini jerene khatib to yo…. Setidaknya begitu, mungkin saya salah.
Kekhusyuan dalam mengamini saya terusik (asline yo gak khusyuk nemen…) ketika tiba pada suatu redaksi doa. Masih ingat doa untuk kedua orangtua sebagai pembuka tulisan ini. Kalau lupa mari lihat bersama, pastikan tidak ada yang di tambah atau digandakan. Sudah? Ada yang salah? Seketika amin saya rem dalam-dalam agar tidak keluar dari mulut. Tidak lain dan tidak bukan yang bukan bukan tidak tidak kerana redaksi doa kepada orangtua yang saya tulis pada paragraf pertama. Kok bisa loh sekaliber khatib yang  fasih beretorika dengan mudahnya mencomot ayat Al Quran maupun hadist “kecolongan”? Siapa malingnya, kok kecolongan? Eh ini serius, sudah masuk tahap kritik ini.
Kecolongan yang dimaksud tidak lebih karena penggunaan kata kerja aku dalam melantunkan doa kepada orang tua. Sederhana saja jika diartikan doa (baca doa kepada orangtua paragraf pertama) yang dilantunkan bisa diartikan ” Ya Tuhanku ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka seperti mereka  menyayangiku waktu kecil”. Gak salah kan berdoa, sekali lagi makmum shalat jumat toh juga masih menengadahkan tangannya. Tanda mengamini doa sang khatib. Ironis memang.  Lantas saya membayangkan apabila para jamaah tahu bahwa doa yang dilantunkan khatib untuk dirinya sendiri bagaimana rasanya? Sayangnya doa dilantukan dengan bahasa Arab, momok bagi sebagian jamaah banyak yang tidak tahu artinya. Saya sih nolak, gak tahu mas Anang….
Khatib sebagai pendakwah seharusnya, sepatutnya wajib untuk introspeksi. Masa masalah kecil saja tidak bisa mengatasi. Mbok ya doa untuk orangtua bersama, moso pinter nyomot ayat Al Quran utowo hadist doa wae isih “kecolongan”.  Gak tahu ini modal hafalan atau kebiasaan berdoa untuk sendiri yang terbawa ketika berdoa bersama. Entahlah, sang khatib lebih tahu. Saya hanya menerka saja.
Lalu bagaimana yang benar, bismillah ini dia:
Allahu maghfir lanaa dzunubanaa wa liwa lidainaa warhamhuma kamaa rabbayanaa shigoroo…..
Kurang lebih seperti itu. Bagi orang awam mudah saja, karena kata kerja ganti aku dalam bahasa Arab khusunya kepemilikan berbunyi  “liii” panjang, kalau kita berakhiran “naaa” dibaca panjang juga. Coba sekarang bandingkan dengan doa di awal dengan doa revisi. Berbeda bukan? Ya terserah sih kalau masih mau ngamini, toh itu hak masing-masing individu. Kesalahan ini tidak sekali saja, bahkan kefasihan berdalil tidak bisa menjadi jaminan.  Masih terngiang apa yang dikatakan oleh dosen tempo hari..
“ Umat Islam sekarang pintar menggunakan dalil, tapi bahasa Arabnya tidak terlalu bagus”
Ini yang terkadang membuat saya jeleh untuk sekedar datang ke masjid lebih awal. Khutbah ibarat perjudian, karena kita tidak tahu apa yang disampaikan oleh sang khatib. Bisa saja penuh dengan kutukan (mencela selain Islam), atau provokasi (maka pilihlah masjid yang mendamaikan).  Apalagi kawasan kota yang dinamis, yang memiliki tingkat sumberdaya manusia pandai melebihi pedesaan (di desa naskah khutbah yang digunakan terkadang itu-itu saja dan diulangi berkali-kali). Diperparah dengan status sebagai pendatang. Ah apalah itu namanya.
Sekali lagi hak anda untuk mengamini setiap lantunan doa. Setidaknya saya “ngabari” ada yang tidak sreg di hati. Masalah anda mau resah atau tidak nah itu lain lagi. Tentu hal ini memalukan. Lebih memalukan lagi jika “mudin” pemimpin tahlilalan melantunkan doa (lihat doa org tua paling atas, parafgraf pertama) dengan fasih dan ditutup dengan al fatihah. Dan jamaah serentak mengamini sambil membaca Al Fatihah seakan tidak terjadi apa-apa. Saya yakin jika ada interview ekslusif pada kepada sang meninggal maka jawabanya akan seperti ini:
“ Seng mati aku, kok seng mbok dungokne wong tuomu tok. Iki piye to nggerrr…..”

Tabik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Jejak Temu

Gila Sama Dengan Waras