Jangan menjadi “Pejabat”, Santri/Santriwati

Ini bukan pesan suci dari orang yang memiliki derajat Kyai. Jadi ya terserah mau ditaati atau tidak, setidaknya ini kegelisahan yang harus terkeluarkan. (Hah?)
Sudah menjadi fitrah manusia untuk minta selalu diakui eksistensinya, secara sengaja atau tidak. Buat apa hidup di dunia ujung-ujungnya tidak dianggap? Mending bunuh diri…. (Jangan diikuti ini sekedar provokasi murahan, jadi jika anda terprovokasi berarti anda………………………….. jawab sendiri ) Nah berangkat demi  pengakuan ada-ada saja tingkah polah manusia, tapi semua usaha itu tampak lucu.
Cukup mukoddimahnya, pengamatan ini hanya sekedar analisis orang sampah. Semoga tidak terlalu subjektif atau kesannya menghakimi sendiri, semoga. Sebenarnya untuk tulisan ini proyek lama, jadi mohon dimaklumi jika otakku tak begitu merekam secara bagus. Kejadian berlalu saja….
Hari itu hari yang menyibukkan, para santriwati harus siap sedia menyambut kedatangan adik-adik di Pondoknya selepas purna waktu libur. Waktunya show time, saatnya menjajah! Berhari-hari bahkan berminggu-minggu bergumul dengan teman satu angkatan tanpa ada birokrasi ke bawah (maksudnya adik kelas) kehidupan rasanya berputar lambat. Apa guna struktur teratas dalam rantai makanan jika tidak bisa memangsa, masa teman sendiri dimakan? (hal ini sulit terwujud oleh berbagai alasan) Akhirnya tiba juga waktu show time , ya waktu itu telah tiba.
Kekuasaan itu mulai terlihat ketika satu persatu wajah lesu memasuki teritori kekuasaan sang santriwati tingkat akhir. Garis teritori itu berwujud gerbang tebentuk dari besi panjang yang untuk membuka dikaitkan dengan tali tambang. Ini seperti pintu gerbang pada tol atau mau masuk bandara. Perbedaannya jika anda pernah (jika belum pernah semoga dipernahkan) ini dengan sistem manual. Tangan lembut seorang wanita dipaksa menjadi tangan kuat yang harus mengeluarkan seberapa energy guna menarik palang pintu gerbang ini. Seakan kata “Selamat Datang” dibuat dengan inotasi santun tapi mengusik ketenangan jiwa. Ini sebuah sindiran halus jika diterjemahkan setidaknya berbunyi “ Selamat datang rakyat, selamat terjajah” betapa sadisnya.
Asyik memang jika ditempatkan pada rantai teratas pada struktur kesantriwatian, siapa sih gak mau menjadi santriwati paling tua (tua di sini berkonotasi kepada urutan kelas terakhir pada struktur kelulusan, bukan tua dalam arti umur).
Aku pun pernah merasakannya, tapi tidak selebay yang lain. Toh sah-sah saja merasa sok berkuasa di pondok, tapi jangan lupa saat itu si santriwati yang “hendak” dijajah bersama walinya loh. Kepetentang-kepetentengan pada santriwati tak apa, kalau kepada wali santriwati ya mbok jangan.!
Sebenarnya kok hal ini baru kusadari ya. Mungkin aku dulu seperti itu juga, kurang menghargai para wali santri. Entahlah….
Setidaknya aku tersadar bahwa ada kekurangan pada masa lalu yang segera mungkin harus ditembel. Dengan jalan yang ditegap-tegapkan (mungkin juga emang tegak….. entahlah) tanpa dosa berseliweranlah para santriwati di depan para wali santri, sekali lagi dengan gaya angkuhnya. Ini loh santriwati tingkat akhir, penguasa pondok (mungkin itulah bunyi hatinya, mungkin….) Serta merta pemandangan ini berubah tatkala berjumpa dengan Ustadzah, bak putri malu tersentuh “mereka” tertunduk patuh. Kepada orang tua wali santri tidak? Loh kok bisa. Sekarang begini saja sebenarnya siapa lebih tua yang pantas dihormati? Ustadzah atau para wali santri? Oke jika dalih yang digunakan shuhbatul  ustadzi (ustadzah) Setidaknya ada dalih lain, hormatilah orang tua. Kecuali jika diartikan orangtua di sini hanya diartikan kepada orangtua dalam arti biologis yaitu orang yang memberojolkan manusia ke dunia. Sedangkan dalam arti luas yaitu orang “yang lebih” tua terminoritaskan.
Hal ini sempat kudiskusikan dengan mantan penghuni pondok, dia hanya berdalih semoga suatu saat sang santriwati akan mengerti. Lalu pertanyaan selanjutnya kapan akan mengerti?
Oke kalau dikategorikan ini sebagai proses, lalu buat untuk apa panca jiwa Pondok “Berbudi Tinggi” yang ditaruh pada struktur teratas dari sistematika filosofis Pondok? Tidak adil kah jika aku dulu seperti itu lalu serta merta menuntut generasi setelahnya untuk tidak sepertiku? Entahlah……
Sore itu waktu registrasi ulang kembali di buka setelah istirahat panjang (dari jam 1 sampai 3 terkategori panjang bagi penghuni pondok). Setidaknya energy telah dipersiapkan guna menyambut kedatangan para santriwati juga melayani pendaftaran ulang. Tetapi tebak, apa yang terjadi? Jadwal yang sekiranya tertulis daftar ulang dibuka jam 15.30 molor. Oke, Indonesia memang jam karet. Masalah menjadi berbeda jika Pondok yang terkenal dengan disiplinnya ini kok ya mempunyai santriwati kurang disiplinnya. Apalagi sang santriwati adalah siswi akhir yang notabennya adalah contoh bagi para adik-adiknya. Maklum lagi, mbok  ya jangan samakan pondok cabang dengan pusat. Kan agak jauh dikit……. Disiplin yang dibanggakan tercoreng oleh sedikit ulah indisipliner, hal ini dapat dimaklumi jika terjadi antara santriwati. Ini dengan “wali” santriwati loh. Jangan dikira mereka bakal menginap semua di Pondok yang pada masa pengembalian “anak” mendadak menjadi pasar tumpah. Banyak juga yang hendak pulang saat semua telah usai, dan mohon ini menjadi pertimbangan.
Tanpa dosa (sebenarnya banyak dosa (baca telat)) mereka para penguasa “baru” pondok datang dan duduk tanpa meminta maaf dulu (sedikit susah ya minta maaf). Tidak, percayalah martabatmu sebagai siswa akhir sang “penguasa” pondok tak akan tercuil barang sedikitpun hanya karena meminta maaf. Percayalah (kalau tak percaya ya sudah, bebas kok…) hal ini (meminta maaf) semakin membuat nilai “keseganan” atas jiwa ksatriamu dari adik kelas semakin menjadi (lihat ratingmu besok pada papan pengumuman… haaaa….)
Ya apa boleh buat ini hanya sekedar harapan, harapan yang akan selalu terjaga semoga suatu saat “menjadi”. Faktanya dirimu “keukeuh” dengan ke “penguasa” yang kau miliki. Dengan tanpa mohon maaf juga tanpa senyum untuk melayani, dikau “nyelonong” saja duduk. Seakan tak terjadi apa-apa, padahal menunggu adalah salah satu pekerjaan yang membosankan bagi sebagian orang loh. Menunggu juga memakan waktu produktif loh, setidaknya meminta maaf telah merenggut waktu yang telah kau renggut dari seseorang menjadi pelipur. Ingat masih banyak yang hendak dikerjakan oleh para wali santriwati juga santriwati.
Apa sudah lupa ajaran “Waktu itu bagai pedang jika kau tak gunakan untuk memotong maka pedang itu akan memotongmu”, semoga dikau tidak lupa.
Siswi akhir bukan berarti suatu yang patut dibanggakan (Sekali!). Perputaran roda tak dapat dipungkiri, bukan berarti dengan menjadi siswa akhir mulai era baru (era menjajah). Semoga kau para santriwati tidak mencontoh panutanmu yang telah menjabat yang terkadang membuang waktu rakyat, bukan melayani setulus hati tapi minta dihormati setinggi-tinggi. Betapa mulianya jika apa yang telah kau pelajari diamalkan, ah betapa indahnya…. Semoga bukan menjadi harap lagi…..

                                          Aku yang lapa………..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu