Kemungkinan Itu “Mungkin”….

Sudah sewajarnya dan lazimnya manusia menginginkan kemungkinan yang seiya dengan harapan. Diam-diam harapan ini membuncah ke permukaan, selalu. Demi terwujudnya harapan maka segilintir manusia berusaha, hingga lupa manusia sekitarnya, tepatnya ambisius. Depresi akan menjadi akibat wajib bagi manusia-manusia yang merasa gagal pada tujuan. Alih-alih bersabar menunggu waktu yang tepat, dalih “kalau bukan sekarang kapan lagi, jika bukan kita siapa lagi” tiba-tiba menjadi cambuk nan pedas. Memerahkan mulut, mengeringkan tenggorokan kiranya perlu unsur manis guna meluluhkan efek cabai.
Dus pada Al-Qur’an pun disebutkan, yang kurang lebih artinya seperti ini “Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu merubah dengan dirinya sendiri.” Ayat ini memang multi tafsir dan sebaiknya bagi anda yang penasaran bukalah tafsir tentang ayat ini, insyaallah makhluk konkret yang kebetulan sering digunakan, google tahu akan hal ini. Jadi mbok ya Al-Qur’an tak hanya dilihat saja, sekali-kali dibaca huruf arab beserta tafsirannya (semoga). Melawan takdir, eh memangnya takdir itu ada? Kok ya Tuhan ki nyeleneh, sudah buat manusia kok ya semuanya telah tertera di “lauhul mahfudz”? mbok ya yang ikhlas kalau melepas manusia.
Aku meyakini bahwa kita harus siap dengan berbagai kemungkinan, dalam hal ini kemungkinan memiliki ranting. Ranting pertama yaitu kemungkinan yang sesuai ekspektasi atau harapan. Hal ini menjadi dambaan manusia, karena semua harapan kan selalu disemogakan menjadi kenyataan. Lalu serta merta ranting kedua bertemankan negative atau pahit. Ini yang selalu berusaha sekuat tenaga disingkirkan, selalu. Ranting kedua cenderung anak jadah yang tak akan pernah direncanakan bersarang dalam rahim, harus dibuang sebisa mungkin. Padahal keduanya urung tak terpisahkan, layaknya ari-ari dan sang jabang bayi. Saling menyangga komponen, sayangnya manusia sering melupakannya. Layaknya anak haram yang tak senonoh hadir pada setitik komunitas manusia, seperti itulah kemungkinan negative.
Baik pastilah berkonotasi serta sering dipermusuhkan dengan buruk atau jahat. Padahal selain mengimpikan harapan yang selalu “disemogakan” menjadi kenyataan, kiranya kan perlu kemungkinan buruk. Toh ya apa salahnya berpikir sedikit tidak optimis, kewaspadaan tentu boleh-boleh saja asal tidak menjerumus ketakutan berlebih. Khazanah Jawa pernah berujar, “ojo gumunan.” Sesungguhnya apa yang dipesankan oleh para leluhur benar adanya, kita dituntut agar siap dengan berbagai kemungkinan. Terkadang mental harusnlah siaga melebihi siaga IGD selama 24 Jam, lengah sedikit runtuhlah fondasi.

Harapan memang perlu, untuk menjaga tujuan. Akan tetapi harapan yang berlebih memang tak diperbolehkan (apapun yang berlebihan memang tak selalu baik). Dan untuk saat ini mari mempersiapkan diri ben ojo gumunan jika tiba-tiba “Gusti Pengeran” ngajak guyon. Loh ya bisa saja tho? Siapa ngerti ujug-ujug dari langit jatuh bidadari. Ini siapapun ingin, akan tetapi kabar perpindahan dimensi ruh siapa yang mau? Mari persiapkan kemungkinan yang selalu mungkin…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu