Hujan pun "Bersalah"

Hujan bagaimanapun juga adalah skenario alam yang sangat susah untuk ditampik. Oleh jampi-jampi maupun ditakuti dengan lidi yang mengadah ke langit. Jika ada peristiwa perihal enggannya hujan turun itu bukan berkat sang mantra, apalagi dukun. Okelah kita anggap sasmita sang empunya lumayan tinggi, selain faktor keberuntungan memang menaungi.
Di bumi Kalimantan, khususnya daerah yang masih berinduk kabupaten Pulang Pisau hujan menjadi dua sisi mata pedang? Ah tahu kan kabupaten Pulang Pisau, itu daerahnya mekar awal dua ribuan. Tapi jangan salah ejaannya, soalnya dulu banyak yang menyebut pulau pisang. Mbok ya “U” di pindah ke susunan kata belakang yang seharusnya tidak ditempati “NG”. Ayolah katanya Indonesianis, kok ada kabupaten yang sudah lama berdiri (2 tahun lebih sering kuanggap lama) belumlah tahu. Atau barangkali perlu pesawat nyasar lalu jatuh hingga mata terbuka. Hmmmm. Sebaiknya check hp anda apakah sudah smart belum? Jangan-jangan hpnya yang smart penggunanya menjadi abdi, bukannya seharusnya?
Kabupaten Pulang Pisau memang belum sementereng kabupaten yang mekar seangkatan dengannya. Jika ditilik umurnya barulah dan anggap 15 tahun. Oke fase 15 tahun dalam kamus pendidikan bisa dikategorikan sebagai siswa kelas 8,9. Jadi masih terlalu dini untuk suatu pendewasan. Ah masa?
Salah satu raksasa lahan yang berada di bawah induk Pulang Pisau adalah Pangkoh (untuk asal mula penamaan dan sejarah belum ada literature lanjut yang menyertai). Oke singkatnya semua nomor yang ada dibilangan mendapat jatah masing-masing dalam “birokrasi” Pangkoh. Dan tempatku kebetulan mendapatkan gelar yang kesatu. Kesatu belum tentu utama, terbaik, terwah dan ‘ter’ lainnya.
Untuk sekedar info saja, mayoritas orang sini adalah pendatang. Tentunya suku Jawa paling dominan. Bagaimana dengan Padang dan krooni Sumatera lainnya. Sejauh ini tidak tampak, sekian. Jika pernah tinggal di Jawa pasti sudah tahu bahwa sumur-sumur mengucurkan air nan bening, tembus pandang dan tentunya menyegarkan. Berbeda dengan dengan kondisi air sumur di sini, maka dengan susah payah suku Jawa yang biasa mengandalkan kebutuhan air dari sumur haruslah ‘move on’ ke? (untuk kali aku tidak mau membahas masalah PDAM, anggap saja kita di desa. Selesai kan J)
Kandungan zat asam yang terlalu tinggi pada air yang mengalir di bumi Kalimantan menjadi alasan utama. Putar otak wajib dilakukan demi kelangsungan hidup sebagai manusia pengkonsumsi air bersih. Entah karena memang bumi Kalimantan menyimpan potensi yang besar perihal sumber daya alam biarlah menjadi misteri yang akan selalu dikuak oleh para cukong. Sungai yang mengalir berwarna coklat gelap, terkadang bercampur unsur agak kekuningan busuk. Kondisi ini membuat orang kembali mengadah ke langit, agar hujan sudi kiranya mampir ke tempat kami. Talio Muara, untuk apa? Minum tentunya.
Hujan kali ini menjadi pahlawan, ya terkadang hidup membutuhkan pahlawan. Kasus berbeda tentunya terhadap hujan. Hujan bukanlah pahlawan yang sangat super, berkekuatan melebihi apapun, ditunjang dengan karakteristik ganteng atau cantik. Hujan adalah titik-titik air yang bersama-sama turun di bumi. Itu saja. Hujan pun tak perlu alat kekuasaan untuk mengukuhkannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa terbesar pada periode kehidupan manusia. Kali ini hujan tampil sebagai suatu hal yang dianggap beruntung.
Tapi sialnya hujan tidak pernah memilih tempatnya untuk sekedar melintas. Hujan selalu nrimo ing pandum apa yang telah diperintahkan oleh sang maha kuasa. Kalau boleh mungkin hujan akan memilih membawa kebahagian saja kepada tempat yang ia singgahi. Dan aku katakana hujan di sini bak dua mata pedang. Menguntungkan dan merugikan. Salah satu kesalahan yang mungkin disesalkan oleh rintikan hujan adalah ‘isengnya’ singgah di bumi Pangkoh. Kok bisa? Sekali lagi ini kemungkinan yang tidak mungkin yang sempat-sempatnya terpikir oleh otakku.
Oke mari kita perhatikan fakta bahwa kondisi tanah Kalimantan jauh sebelum dibuka lahannya merupakan lahan gambut berawa. Karakter ini melebihi tanah gerak karena tanah ini sukanya ‘merendah’ akhirnya ambles. (ini analisaku sendiri berdasarkan data tak nyata). Maka diperlukan proses menimbun tanah dengan tanah yang lain dengan karakteristik agak keras guna memantapkan sang jalan (boso jalanane goleki dewe).  Salah satu kesalahan sang hujan menurutku adalah jatuh ke spot semacam ini. tak perlu lama-lama melihat hasil, tengoklah jalan akan menganga. Kalau jalan tidak berlubang ya bisa dipastikan jalan bak bubur. Tidak pernah kan main offroad yang benar-benar alami tidak dibuat-buat? Jika anda pecinta offroad sudilah kiranya mampir ke sini. Akses jalan menjadi rusak, distribusi apapun macamnya menjadi terganggu. Satu lagi perlu sepatu boot, katanya agar gak terlalu kotor jika bepergian. Aku memandangnya sebagai mitos, hell yeah. Jelas bukan mengapa hujan menjadi kerugian?
Mari lihat dari segi keuntungan. Dengan pongahnya sungai yang mencoklatkan airnya demi menjadi artis butek-butekan air. Masakan hanya manusia saja yang mengkonteskan kecantikan kulit dilihat dari sisi eksotisme. Sekali-kali boleh dong air berkontes (batinmu ndes). Hujan pun menjadi solusi jitu, persetan dengan kontes eksotisme, akulah pemenangnya. Mungkin begitulah seloroh sang hujan. Ratu adil pun datang, jreng jreng jreng. Masing-masing manusia, entah itu dalam bentuk komunitas keluarga atau apapun juga. Mereka berlomba-lomba menampung hujan agar ‘mau’ mampir ke tempat yang disediakan. Kali ini hujan bak tamu agung yang dimanja, ditunggu, dan didewakan tapi tak sampai setaraf Tuhan (ujung-ujunge Tuhan maneh). Singkat kata air hujan menjadi pelepas dahaga di tengah gempuran produk air kemasan masa kini di bumi Talio Muara. Pantaslah kali ini hujan menjadi pahlawan.

Berbeda kasusnya di Jawa hujan hanyalah pertanda musim tanam mulai tiba. Tak ada yang pernah menggunakan hujan seperti orang Jawa di lahan trans Kalimantan. Bahkan aku pernah meminta air hujan menjadi air minum khususku dan orang-orang tertawa. Tersadar kini bahwa tawa itu tawa ledekan. Karena itu di luar kebiasaan, hujan hanyalah air bening ya untuk sawah bukan untuk di minum. Kini teknologi mulai canggih, rahmat air hujan semakin tergerus saja. Ngomong air hujan sama tarafnya dengan Aqua loh. Bahkan langsung dari langit melebihi air ‘dewa’ zam-zam. Salam. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu