Keteguhan Hati
“Datanglah dengan tenang, pergilah dengan lapang.”
Masih seperti hari yang lalu, Ratih memeluk boneka beruang coklat kesukaan adiknya di kursi goyang berwarna putih persis menghadap jingga temaramnya matari.
“Gi, janji ya besok kalau sudah besar kita sekolah naik sepeda, nanti Agi duduk gonceng di belakang ya, biar kakak saja yang menggenjot sepedanya. Lihat Gi, betis kakak besar bukan? Ini tandanya kakak kuat untuk membonceng Agi. Mau ya Gi?”
“Kakak, sudah malam, ayoh basuh muka dulu sebelum tidur. Besok lagi ya kak ngobrol dengan adiknya.”
“Iya Ma.”
Ratih panggilannya, Ratih Kumalasari nama lengkapnya. Berusia genap 5 tahun Januari nanti, seorang anak yang sangat ceria hingga tragedi itu membuatnya menderita tanpa bisa berbuat apa-apa.
Rambut kusut penuh uban seakan menutupi sosok yang sangat cantik di masa mudanya, dambaan hati semua lelaki. Perangainya riang, mudah bergaul dengan siapapun, lincah geriknya membuat semua tanda positif semakin lengkap saja. Rinai Rintik nama lengkapnya, orang yang melahirkan Ratih Kumalasari.
Semua orang suka padanya kecuali seorang yang diam-diam tanpa henti mengintainya dari balik pintu bambu, hampir setiap hari orang itu memerhatikan langkahnya tanpa kedip sedetikpun, sembari komat-kamit dengan serangkaian kata-kata selalu dirapalkannya.
………..
Allahu akbar allahu akbar…..
Allahu akbar allahu akbar…..
………..
Gema suara azan maghrib terdengar nyaring dari satu-satunya masjid yang digunakan dari sekian masjid yang ditinggalkan oleh warga.
“Bu, Agi melambaikan tangan Bu, lihat itu Bu. Bisakah ibu bantu mengangkat tangan kakak supaya bisa balas lambaiannya?”
Semenjak tragedi itu Ratih tak mau lagi memanggil Mama kepada orang yang melahirkannya, baginya panggilan Mama hanya pantas jika Agi adiknya masih ada. Panggilan Mama tak lagi pantas mengingat yang tersisa hanya dirinya seorang yang patut dipanggil anak dalam keluarga kecil ini. Sehingga panggilan Ibu dianggapnya pantas sebagai kata ganti panggilan Mama, toh sebelum adanya Agi, Ratih selalu memanggilnya dengan Ibu.
“Kakak.”
Sambil berkaca-kaca ibunya coba membuka suaranya yang seakan macet di tenggorokan.
“Ibu, tolonglah Bu. Janganlah lagi aku dipanggil kakak, nama itu bagiku sudah moksa bu. Kakak hanya cocok menjadi panggilanku ketika Agi masih hidup bu. Sudahlah, berapa kali kumohon Ibu tidak memanggilku kakak lagi bu. Please.. Cukuplah panggilan kakak sebagai penantian waktu yang selalu kunanti akan diucapkan oleh Agi, Ibu kuperbolehkan memanggilku kakak sebab dulu Agi belum bisa melafalkannya dengan sempurna Bu. Jadi sudah jangan menambah amarah Agi lagi Bu, lihat dia sudah pergi.”
Senja jingga menyapa rumah kecil tanpa televisi melalui jendela yang lebar hampir di setiap sudut ruanganya.
“Untuk pertukaran udara, biar seimbang udara negatif dan positifnya”
Begitulah alasan yang dikemukakan kakek Ratih, Purbamanggala ketika menjawab pertanyaan cucunya di beranda sembari mengantar temaram matari ketika Ratih masih berumur 4 tahun. Kakek adalah pendongeng yang sangat detail dalam bercerita, kadang Ratih suka dibuat riang kembali hanya dengan mendengar kakeknya bercerita setelah hari-harinya yang melelahkan.
Purbamanggala, pensiunan Guru yang tidak pernah mendapatkan kesempatan menjadi pemain sepakbola professional sesuai cita-cita masa mudanya. Sempat coba merangkap menjadi Guru pelajaran jasmani dan rohani, namun gagal total sebab satu-satunya yang diajarkan hanya teknik bermain bola, lainnya tidak.
Baginya olahraga adalah sepakbola, sepakbola adalah satu-satunya jenis olahraga yang sangat diyakininya mampu menerjemahkan perasaannya yang sering meledak-ledak ketika marah. Sepakbola dapat membuatnya lupa akan derita menjadi anak satu-satunya dalam keluarga, tidak heran apabila muridnya kedapatan tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan, maka sebagai hukumannya bermain bola hingga jam pelajarannya usai. Hukuman ini berlaku tanpa pandang jenis kelamin. Pernah suatu ketika hanya tersisa 1 orang saja dari 25 muridnya, sebenarnya 1 orang murid ini pun tidak menunaikan pekerjaan rumahnya, hanya karena ingusnya yang selalu berleleran membuat Purbamanggala tak kuat untuk ikut menghukumnya.
Muridnya sebenarnya bukan termasuk kategori anak-anak nakal, mereka anak yang taat kepada guru. Hanya saja, hari dimana mata pelajaran Pak Ba mereka menyebutnya sebagai hari favorit, sebab hanya hari itu mereka bisa bermain sepakbola lengkap dengan seragam merah putih, hal yang tidak pernah mereka dapatkan ketika mata pelajaran pendidikan jasmani dan rohani yang diajar oleh Pak Rondis. Monoton kata sebagian murid laki-laki dan semakin ke sini murid perempuan mengamininya, bagaimana tidak membosankan apabila olahraga yang dilakukan adalah belajar memakai lipstik sambil berlari.
Pak Komdis, benar-benar orang yang sangat membosankan. Panggilan ringkas para murid untuk Pak Rondis, sebab lebih mudah saja kata mereka, dan sebaga bentuk solidaritas kepada 3 orang murid yang cadel, susah berujar huruf “…….ERRRrrrrrrrrrrr…..”
“Anak-anak, hal ini untuk melatih ketangkasan dan konsentrasi. Sangat baik untuk tumbuh kembang kalian semua, besok setiap orang harus membawa lipstiknya sendiri-sendiri, kalau tidak ada duit nyolonglah sekali-kali. Saya ijinkan kok, mengerti?”
“Jyangkrik”
“Wedus”
“Kirik”
“Kedondong”
“Loh kok ada jenis flaura di sini? Masa iya ada kedondong di kebun binatang, ulangi lagi!”
Protes Dani, murid paling rajin dan tekun, tapi kurang cerdas di kelas 4.
“Hemmmoooooooooooohhhhhhhh……”
Kompak para murid melenguh dengan panjang, menirukan suara yang mereka anggap seperti suara sapi.
“Ratih, Bapak bawakan timun segar kesukaanmu. Bapak ganti baju, nanti Ratih Bapak Suapi ya nak.”
Anggukan Ratih pelan, pelan sekali, menjadi anggukan terakhir. Tepat ketika langit sore tak lagi berwarna jingga, senyum tersungging di bibirnya. Damai. Angin sepoi berhembus ke arahnya, mengibaskan rambutnya yang tergerai panjang.
Dani Drojoseno bapaknya, hanya bisa tersenyum setelah menempelkan tangannya ke pergelangan tangan Ratih.
“Damailah engkau di sana Kak, bolehkah kami Mama Ayahmu, Ibu Bapakmu ini saling memanggil sayang lagi? Panggilan akrab yang sudah lama kami tanggalkan jauh sebelum kami memilikimu Ratih Kumalasari dan Agi Swasti Permatasari.”
Bersambung…..
Komentar
Posting Komentar