Kami kembali!
Hey Ben, aku tidak suka kau berinteraksi dengan wanita seperti itu.
Itulah SMS yang kau kirimkan ke ponselku, seketika aku tersentak dengan
hati berbunga. Ah, dia ternyata cemburu, buktinya dia memerhatikan bagaimana
aku bercanda dengan teman wanita sejurusan yang baginya kurang tepat. Kau tahu,
betapa aku merasa seperti orang yang beruntung diperhatikan olehmu. Hebat sekali
efek sebuah kata, padahal hanya bualan semata.
Benarkah begitu?
Sebenarnya hatiku meronta, apakah ada yang salah? Aku hanyalah bercanda
dengan mereka, tak sampai hati kupeluk mereka, tidak pernah aku merangkul
mereka. Lantas dimana yang salah? Rasa bersalah atas suatu yang dilakukan terus
menerus sehingga menjadi kebiasaan itu perlahan mati dalam langkahku, itu
salahku?
Wedus!
Sekali lagi kutimbang, akan tetapi hanya sejenak. Titahmu bagiku adalah
perhatian, dan perhatianmu sudah sangat kelewat mahal untuk kucecap. Sebagai manusia
yang dimabuk asmara, apa yang dikatakan oleh wanita dambaan memang harus
dilakukan. Toh, bukankah aku anak pesantren? Dasar hamba hina pencitraan
semata!
“Baik, akan kujauhi mereka.” Niatku dalam hati.
Benar, aku mengurangi resiko bersentuhan dengan mereka. Meskipun dalam
beberapa hal, bercanda misalnya, sikapku masih sama.
Tiba-tiba kehabisan kata-kata lanjutan, jadilah melihat hape memeriksa
paketan kapan tiba. Kok gini amat, embuhlah. Tadi, pas di jalan rasanya
ingin menulis tentang tukang parkir. Eh, ketika datang ke kos malah kurang semangat.
Pegang hape, buka Instagram malah buat kepsyen gak jelas.
“Ah, kayaknya asyik itu ngetik suatu tentang masa lalu”
“Iya, ayolah ambil laptopnya!”
“Oke, mari kita ambil.”
Jeda
Halo diriku, dimanakah gerangan kau sekarang? Kau tadi menyuruhku untuk
membuka laptop, ini sudah. Benar, tadi kita sepakat untuk membuat tulisan
tentang masa lalu. Tahu kan apa yang terbesit di otak kita? Peristiwa masa
lalu, ketika kita ditegur olehnya.
“Oh ya, aku masih ingat.”
“Apa yang kau ingat?”
“Aku ingat, dia kan cinta pertamamu di kampus itu.”
“Masa?”
“Masih mau mengelak lagi? Lantas untuk apa kau kirim sms kepadanya, dan
berharap segera dibalasnya? Lalu, mengapa tidak kau hapus saja pesan smsnya
yang masuk ke hapemu, sama dengan nasib sms-sms lainnya.”
“Entahlah Cuk, aku merasa itu membahagiakanku. Aku merasa dia memberi
perhatian kepadaku saat itu, tahulah kau bagaimana rasanya mendapatkan
perhatian dari seorang yang kau damba? Aku bahkan bisa berulang kali membaca
sms itu di kegelapan malam sambil tersenyum sendiri, membayangkan dia sedang
bercakap denganku. Bahkan Cuk, aku tidak tega untuk menghapus pesan terkirimku
kepadanya. Hanya untuk bisa terlihat sebuah percakapan, hidup itu indah waktu
itu Cuk”
“Ya, aku tahu. Aku juga turut merasakannya, tapi itu kebahagian yang
teruangkan oleh waktu itu saja Cok. Janganlah kau bawa ke waktu ini!”
“Aku tidak membawanya Cuk. Hanya dia seakan memaksa untuk diberi waktu,
entahlah apa namanya. Kan Tuan sendiri mau menulis tentang tukang parkir tadi,
aku masih bisa mendengar bersama bagaimana otaknya berbicara ribut tentang
tukang parkir yang merisaukannya.”
“Ya, akupun tahu. Lalu mengapa kau mengusik konsentrasinya dengan
menghadirkan cerita yang berbeda dari apa yang ia pikirkan?”
“Kau pun begitu Cuk! Tidak usah melempar api, seakan aku yang
menyalakannya. Ingat kau ini bukan tangan kanan atau kiri, kita adalah satu
tanpa kompromi.”
“Benar, aku memang melihat redupnya kemauan Tuan untuk membahas masalah
tukang parkir. Tadinya, aku berharap cerita masa lalunya ini bisa menjadi
semacam amukan indah. Kubayangkan ya Cok, dulu yang menolak dia menyesal. Bukankah
itu tujuan Tuan kita tadi Cok?”
“Loh, kok kau sekarang malah mendukungku? Bukankah kita ini seharusnya
saling berlawanan, selamanya akan seperti itu?”
“Kan sudah kukatakan kepadamu tadi Cok, kita ini berbeda tapi akan
selamanya bersatu dalam kehendak, Bukan begitu Tuan?”
“Nah, Tuan kita hanya tersenyum menjawab pertanyaanmu Cuk. Garuk-garuk
dia gatal, mungkin karena masalah air.”
“Apalagi masalah yang kau bawa Cok? Mengapa tiba-tiba ke air?”
“Halah sok gak tahu, airnya kan keruh.”
“Kita kan terbiasa dengan air keruh Cok, di Kalimantan airnya coklat
kitapun biasa saja. Bahkan air itu juga yang buat mandi, mencuci dan bahkan
kalau perlu berak. Kok bisa-bisanya kau permasalahkan masalah air, sudahlah
tidak usah kau merasa higinis.”
“Entahlah cuk, aku merasa bahwa gatal-gatal itu disebabkan oleh air
tersebut. Nahkan, baru dirasani timbul rasa minta digaruk dipunggung.
Cuk, ngerasa pingin kencing gak?”
“Nanti ah, Tuan masih bisa nahan tuh. Oh ya Cok, itu kan hanya asumsimu
saja. Toh, kau belum pernah coba membawa air tersebut ke laboratorium misalnya
untuk diperiksa kebenarannya.”
“Iya cuk, tapi rasaku mengatakan bahwa air itu penyebab gatal. Malam tadi
saja Cuk, airnya hitam pekat, sampai rasanya tidak nyaman untuk gosok gigi. Pagi
pun seperti itu, masih sama pekat, jadi bikin malas samponan”
“Eh, siapa nama wanita dambaanmu yang pertama?”
“Kan mulai lagi, kau kan juga tahu namanya Cuk. Ngapain kau tanya
kepadaku seakan kau benar-benar tidak tahu?”
“Ya enggak gitu juga sih, kan aku hanya malas memberi tahu. Jadi menurut
hematku kau saja yang menuliskannya di sini.”
“Buat apa? Tidak baik, toh dia juga sudah punya anak dari dia mantan
dosenmu.”
“Oh, Jancok!”
“Eh, aku masih kepikiran dia tau gak?”
“Opo maneh Cuk?”
“Dia itu loh kok tega ngambil suami orang?”
“Kan sudah jodoh, mau transit berapa kali pun akan bertemu!”
“Lambemu Cok!”
“Loh itu diketawai sama Tuanmu.”
“Kan, mulai lagi. Itu kan Tuan kita bersama, gak usah memojokanku seakan
aku yang menguasai tuan kita lah Cuk.”
“Sorry Cok, lanjut yang tadi lah.”
“Iya Cuk, aku teruskan ya? Aku sampai sekarang gak habis pikir mengapa
dia tega seperti itu, terlepas dari fakta bahwa si dosen ini katanya terpaksa
mengawini si istri pertama. Seorang seperti dia loh cuk, yang ualim bahkan kita
sentuh aja kita langsung kena marah. Masih ingatkan bagaimana matanya
memelototi kita, ya Allah gak kuat. Ngeri Cuk. Kan kita dapat undangannya dari
angkatan di bawah kita yang kebetulan satu pondok mahasiswa dengan dosen kita
itu, nah ketika kuchat teman kita yang satu jurusan yang dulu dekat sama
dia, kok langsung dia nelpon balik Cuk. Dia gak percaya cuk, katanya kok tega
ya mbak ZZZZZZzzzzz itu? Wah aku ya gak bisa jawab sih cuk, secara waktu itu
kan kita sudah gak ada lagi rasa sama dia. Itu baru satu, lantas kucoba hubungi
teman lain. tahu kau Cuk? Dia pun kaget, tidak menyangka si Embak itu tega.”
“Embak ini maksudmu dia?”
“Ya iyalah Cuk, siapa lagi? Ah, kau nyeletuk jadinya gak asyik mau
cerita tentang dia.”
“Sebantar Cok, sebenarnya dia nikah terpaksa katanya? Kok bisa sampai
punya anak?”
“Itu dia yang bikin mangkel Cuk, hahhahhaa. Katanya gak mau tapi diajak
gituan mau, dasar lelaki selangkangan. Kata temen-temen sih masa yang mau kalau
sudah dihidangkan?”
“Tapi aku gak habis pikri Cok, kok tega ya bapak itu meninggalkan
anaknya?”
“Loh kita kan gak tahu sekarang Cuk, bisa saja dia mengurusi anaknya
tapi kita tidak tahu.”
“Oh ya Cok, tumben omonganmu berhusnudzon. Kan bagianmu seharusnya
suudzon, itu kan pembagian peran yang kita sepakati.”
“Kapan kita sepakat, perasaan tidak ada sama sekali. Tidak ada pembagian
peran di antara kita, adanya peran saling mengisi dan berdebat jika perlu”
“Iya, maafkanku ya Cok.”
“Gak usah minta maaf, kita kan saling mengingatkan. Sama mengingatkan
Tuan bahwa dia utang banyak tulisan Cuk.”
“Tulisan apalagi?”
“Ya tulisan tentang dia, kalau bisa dihabiskan.”
“Itu gak penting lagi kayaknya Cok.”
“Kok bisa?”
“Jancok, kau gak nyadar dari tadi kita mengisi waktunya dengan percakapn
seperti ini!”
“Yo gak apa toh? Terpenting itu kita bisa bantu membuat sebuah tulisan,
meskipun ya tidak indah-indah amat. Begitu loh Cuk. Tuan pun tidak keberatan
dengan kehadiran kita kembali di sini, bukankah aku dan kau terakhir muncul di
segmen gedobos ala aku yang banyak pengunjungnya itu Cuk?”
“Ah iya, itu waktu di Kalimantan ya Cok. Kangen gak sama Kalimantan Cok?”
“Kangen sih kangen Cuk, tapi bukannya seperti hidup kita ikut Tuan? Tidak
tentu arah mau kemana tahun depan, tapi hebatnya asyik saja. Ya, namanya resiko
ikut ketentuan Tuhan ya beginilah Cuk. Lagian kita terselamatkan dari kabut
asap di Palangkaraya yang begitu memprihatinkan Cuk, Alhamdulillah. Aku kasihan
sebenarnya sama teman-teman yang di sana, kemarin kan Tuan ingin agar PF itu
bantu. Kok ya malah gak ada respon gitu Cuk, kesannya tebang pilih. Katanya ada
obrolan masalah itu, tapi nguap begitu saja sudah”
“Biarkan saja Cok, sudah yuk Cok”
“Ah nanggung, jemari masih mau menari ini. Lancer banget Cuk tuan
ngetiknya, kaya gak pakai mikir. Benar-benar mulus Cuk, kayaknya Tuan cocok
dengan tulisan seperti ini Cuk, gak kebanyakan cincong tapi berbobot.”
“Berbobot dari segi mana Cok? Kau ini sedikit-sedikit merasa berbobot,
gak ingat kita kemarin blunder?”
“Blunder kenapa lagi?”
“Kita kemarin kan ngirim masukan ke dia.”
“Dia siapa lagi?”
“Jancok, gak usah sok bodo lah.”
“Bentar Cuk, mau kencing bentar. Gatal juga ini rambut, kesemutan kaki.”
“Emmmmmmmmmmmmm,m,m,m,m,m,m,m.”
Jedah.
Bukan berarti anak haram atau nama makanan, artinya tunggu sejenak lagi.
“Kok Tuanmu Goblok Cuk!”
“Jancuk, kok ndisiki aku kau Cok. Seharusnya aku yang bilang begitu.”
“Loh ya terserah aku Cuk, protes sana ke Tuan. Dia kan yang berkuasa
atas kita”
“Oke, jadi kritik kemarin gimana Cok? Kok malu?”
“Jancuk, ternyata dia pengurus jilid pertama Cuk. Aku kan malu
menjelekan kepengurusan pertama ke dia yang ternyata masuk dalam kepengurusan
jilid awal.”
“Oh, gara-gara tadi ya?”
“Iya Cuk.”
“Gak masalah sih menurutku, kan kita hanya menyampaikan asumsi. Mungkin bagi
kita benar, mungkin bagi dia salah. Terpenting kita berani bersuara, toh
rasanya dia juga bakal menerima kok. Kecuali kalau sampai bocor, itu bahaya
Cok.”
“Itu resiko, bukankah kita sudah sepakat bahwa kita mengincar dia Cuk. Ini
kan cara Tuan untuk menimbang dia untuk dijadikan patner kita.”
“Iya bener Cok, dulu pas kuliah aku merasa bahwa sangat mudah untuk
menemukan calon nanti. Heran aku dengan beberapa orang yang seakan-akan tidak
ada orang lain selain dia, bayangkan Cok disakiti iya tapi kok mau-maunya dia
nikah dengannya? Kok bisa? Apa hatinya sudah jadi batu mungkin? Jadi, waktu itu
aku berpikir, lihat begitu banyak pilihan yang tersedia. Kau bisa saja menikah
dengan siapapun.”
“Sama Cuk, tapi itu dulu. Makin ke sini pilihan kita semakin sempit. Bener
sih yang cantik banyak, tapi yang membuat bergetar itu hanya sedikit. Cantik dalam
arti ingin kenal dan memuji indahnya ciptaan Tuhan, tidak lebih.”
“Lalu dia berbeda gitu Cok?”
“Kelihatannya begitu Cuk, seperti ada tantangan tersendiri untuk
menaklukannya. Kurang tepat sih sebanrnya untuk menaklukannya, Bahasa lain yang
pas apa Cuk?”
“Meluluhlantahkannya.”
“Jancuk, sama saja itu namanya.”
“Sudahlah, memang kuakui ini bakal sulit Cok. Sekilas dia kelihatan
berkarakter, itu yang sama-sama kita suka daripada orang jawa timur yang tempo
hari ditawarkan ke kita. Belum ada setrum dan tantangannya daripada ini Cok,
ini seperti tantangan beda. Entah mengapa seperti itu.”
“Loh kau yakin ini bakal tayang di blog kita?”
“Mengapa?”
“Gak takut dibaca orang?”
“Ya terserah, bagiku dibaca atau tidak gak jadi soal. Apalagi kalau
sampai dibaca olehnya, masa bodoh. Aku gak perlu memikirkan hal itu Cok, sudah
ada yang ngurus.”
“Gak blunder lagi kayak kemarin?”
“Cok, aku bilang itu bukan blunder dan juga bukan menjelek-jelekkan. Kan
itu hanya pemikiran kita tentang suatu hal, lebih bagus kita suarakan dengan
orang lain, kalau pernyataan kita salah kan bisa dikoreksi, tinimbang jadi
konsumsi pribadi dan tak tentu arah kebenarannya. Ya bagus seperti itu, untuk
mengetahui respon orang. Lagian itu juga bukan kehendak kita Cok, cerita itu
mengalir sendiri mencari tuannya. Persis dengan apa yang kita lakukan saat ini,
mengalir saja tanpa banyak pikir. Lihat sudah 1800 an kata hanya untuk kita ngalor
ngidul seperti ini, gak masalah Cok. Toh, jarang-jarang kita melakukan hal
ini. Biasa saja, anggap kita nostalgia karena kita kan memang jarang muncul,
sekali muncul ucul.”
“Benar juga Cuk, buat apa kita mikir seperti ini itu. Apalagi masnya
yang ngepoin kita tempo hari, kurang kerjaan sekali. Ngepoin kok Tuan, kan Tuan
itu gedebusnya luar biasa. Wong pahpoh kok dikagumi.”
“Siapa yang mengagumi Cok?”
“Itu manusia yang belum pernah kita ketemu dengannya, nyesel kan dia?”
“Biasa aja kalau sama itu, tapi ya Cok aku merasa di atas angin waktu
itu.”
“Iya, dia takluk habis sepertinya Cuk. Kalau bukan karena kita ingin
berkarir di Kalimantan waktu itu bisa jadi dia sama kita sekarang, ahahahahhaa.”
“Waktu itu kita ingin berkarir di Kalimantan, sekarang kita malah dimana
Cok. Lucu ya takdir ini, tapi asyik banget sumpah.”
“Terjebak di tempat indah dengan kesendirian itu tidak mengenakkan sama
sekali, Cuk.”
“Jancok, lambemu kok seneng bener seh?”
“Mari kita kerjasama menaklukan dia berarti, siap?”
“Moga saja besok semangat itu memudar, kan ya seperti itu tuan kita Cok?”
“Bukak sitik bukak sitik jos.”
“Ngetik gitu aja lama, makanya kalau gak niat jangan ditulis. Jadinya kan
kaya gitu, lama!”
“Jancok, dia membuat Tuan kita banyak membayangkan hal yang tidak pasti.”
“Tuan kita memang seperti itu Cuk, biar saja toh dia hanya bisa memilikinya
dalam angan, ngenes sih tapi memang jalannya seperti itu, mau diapakan lagi?”
“Seharusnya Tuan itu belajar, bahwa apa yang sering dia bayangkan pasti
akan tidak terjadi. tentunya dengan cewek satu ini nanti.”
“Hahahahahahaha. Biar saja cuk, memang Tuan ini jago ngayal. Tapi asyiknya
di situ Cuk, tahu-tahu belok dan tak terduga.”
“Sebentar Cok, aku mau ngecek tulisan ini dari awal sampai akhir. Tuan
kayaknya sudah mulai konslet, banyak huruf salah ketik.”
“Jancuk, banyak tulisan yang keder Cuk.”
“Tuan sudah capek tandanya Cok, ternyata sudah hampir 2 jam ngetik kaya
gini aja Cok. Kan, ngetik C gede aja lama Cok, tanda waktunya istirahat. Mulai lagi
salah ketik banyak, sudahlah Cok ayo kita pamit.”
“Nanggung tapi Cuk, ini sudah dekat ashar.”
“Males Tuan ngoreksi obrolan kita Cok yang sudah delapan lembar seperti
ini, dan mari kita bersepakat bahwa tulisan seperti akan muncul di blog kita. Sudah
lepas perasaan khawatir tentag kita nantinya akan jadi seperti apa, kan sudah
ada yang ngatur.”
“Oh ya sudah terdengar orang ngaji Cuk, oke sampai jumpa.”
“Pamitannya ya sama-sama lah Cok!”
“Oke Tuan, terimakasih telah memberi kita ruang dan waktu Jancuk dan
Jancok selanjutnya menyerahkan kembali ruang dan waktu kepada Tuan. Jangan lupakan
kami ya Tuan, besok kita bertemu lagi ya. Terimakasih, tabik”
---------------------------------------------------- BERSAMBUNG--------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar