Untukmu Mas.
Sebenarnya ingin rasanya tulisan ini saya ketik
dulu-dulu, akan tetapi karena beberapa faktor, baru siang ini rincian
pembahasan berhasil terincikan. Baiklah ini dia:
Teruntuk Masnya
Halo Mas, mungkin suatu kali Mas mampir di
sini, sedikit membaca ini, saya ucapkan terimakasih. Saya tidak ada maksud
lain, karena memang calon istri Mas itu sendiri yang memulai. Tidak, saya tidak
menyalahkannya dalam arti menjadikannya penyebab, namun seperti yang kita
ketahui bersama ya Mas, dia mengidap sebuah gejala lebay. Bukan begitu Mas?
Baik, sebelumnya saya berterimakasih kepada
Masnya yang dengan sangat tersungut-sungut mampir di sini, membaca beberapa
tulisan yang entah layak disebut tulisan atau tidak. Dulu. Dulu Mas, calon
istri Masnya mengagumi hasil uneg-uneg saya ini. Dia menganggap saya
yang seperti ini sebagai penulis besar, padahal ya mas, karya tulis pun saya
tidak punya. Ya seperti ini-ini saja, seperti Mas baca. Benar-benar gak bermutu
kan Mas?
Nah, mengapa saya bisa tahu bahwa Masnya mampir
di sini? Tidak lain dari calon istri Masnya. Tenang Mas, saya tidak ada maksud
lain menghubunginya. Ehm, jadinya saya buat sebuah pengakuan dosa ini. Gak apa
kan Mas?
Sedikit bercerita tentang kami ya Mas, boleh?
Kalau tidak boleh, nanti boleh kok Masnya menyampaikan keberatan ini kepada
calon istri Masnya, biar nanti saya tindak lanjuti. Eh, ini bukan modus loh
Mas. Langsung saja ya Mas, daripada menunggu lama. Suatu ketika teman satu
jurusan kuliah dulu mengenalkan calon istri Mas yang sekarang. Katanya, calon
istri Mas itu baik, solehah dan sedang mencari pasangan. Sebentar, itu kalau
tidak salah sekitar akhir 2017. Singkat kata, saya pun memberanikan diri untuk
mulai percakapan via Whatsapp. Ah iya, permulaan itu saya mulai dengan “Assalamualaikum”
jawabnya lama sekali loh Mas. Kenapa waktu itu saya berani menghubunginya? Ya,
karena ingin kenalan, kalau jodoh ya lanjut kalau tidak ya kan jadi jodoh
Masnya.
Kesan pertama dia sih agak jaim gitu Mas,
setelah itu entah siapa yang nyuruh, tiba-tiba dia membaca beberapa caption
di Instagram dan juga blog ini Mas. Pernah dia bilang seperti ini Mas “Seorang
penulis hebat seperti sampean tidak sepantasnya bercakap dengan aku mas,
apalagi membuang waktu seperti ini” gemblung toh mas? Padahal saya ya hanya menulis
sekenanya, kalau diedit pun mungkin tidak lolos editor.
Singkat kata.
Dia terpikat olehku Mas, masalah kita hanya
satu. Saya ingin hidup di Kalimantan dan dia ingin hidup di Jawa, itu yang
tidak menemui kata sepakat di antara kita Mas. Tenang Mas, saya tidak pernah
bertemu secara langsung, dalam arti tatap muka dan mengobrol, sungguh tidak
pernah. Semenjak itu, saya putuskan kita berteman saja. Begini Mas, saya
tipikal orang yang berusaha menjalin silaturahim dengan orang-orang, apalagi
kita pernah punya perasaan. Adapun perbedaanya? Dia masih susah menghilangkan
bayangku Mas, sedangkan saya bisa. Ya, logika saya masih sangat waras Mas. Kalau
tidak seperti ini kan Masnya tidak ketemu dengan dia kan?
Kita saling tertarik Mas, tapi jujur karena ada
beberapa syarat yang tidak bisa saya penuhi maka seperti inilah jadinya Mas. Sementara
saya menjalani kehidupan seperti biasa, entah dia Mas.
“Mas, Sampean kadung memberikan standar tinggi
bagi calon Suamiku”
Iniliah yang membuat saya pusing Mas, dan
akhirnya menuntut masnya untuk coba membaca beberapa hasil tulisku di caption
Instagram maupun di blog ini. Bukan begitu Mas? Tahu Mas, saya berang dan
jengkel ketika Masnya dibandingkan dengan saya, karena memperbandingkan itu kan
tidak baik. Apalagi, siapa sih saya ini mas? Bahkan saya menyuruh calon istri Mas
untuk menerima Mas apa adanya, tanpa harus memperbandingkan dengan saya. Toh,
sekarang bukannya Mas dan calon istri sudah hampir melangkah ke pelaminan. Saya
kira, ucapan di atas hanyalah pemanis Mas. Ternyata, itu terjadi? Bagaiamana saya
tahu? Saya menelepon calon istri Mas, jauh hari sebelum hari pertunangan. Tenang
saja Mas, saya hanya memastikan semua berjalan baik saja. Bertukar kabar, itu
saja kok Mas. Tanya ke dia saja Mas kalau masih ragu. Heu
Masalah itu sudah selesai sepertinya Mas,
buktinya kalian tunangan. Selamat. Tapi Mas, nanti kalau dia bandingkan Masnya
dengan saya, tidak usah belikan dia Mie Indomie lagi Mas. Sudah cukup. Saya percaya
Masnya memiliki banyak kelebihan dari saya, haqqul yaqin saya Mas.
Tetaplah menjadi diri yang Mas inginkan.
Mas, saya ini orang biasa. Sangat tidak pantas
untuk diperbandingkan, apalagi dengan Masnya. Saya tahu apalah diri saya ini,
saya hanya menulis secara reflek Mas. Memang ada beberapa orang yang mengatakan
tulisan saya bagus, tapi saya tidak pernah benar-benar tahu itu bagus. Oh ya,
terimakasih atas pujian yang mas lontarkan ke saya. Ah, tidak seperti itu Mas
tepatnya. Sebenarnya saya yakin semua manusia itu memiliki potensi
masing-masing, seperti kelebihan Masnya yang tlah berhasil menaklukannya
beserta syarat yang ditetapkan. Itulah beberapa kelemahan saya Mas.
Sekian dulu Mas, uneg-uneg saya. Sekali lagi selamat Mas.
Komentar
Posting Komentar