Tentang Perkenalan
Jika benar cinta selalu kembali pada hakikatnya, bukankah sebuah
kebohongan pernikahan tanpa unsur cinta?
Berat, mata menahan beribu pound kelopak mata agar segera merapatkan
kulit. Istirahat. Mau tidak mau cerita ini memang tidak berjalan mulus. Apa lacur,
badan oleng mata menahan kantuk. Masih saja, plot cerita harus tersusun sebelum
bergantinya hari. Jadi maafkanlah alur cerita kurang menarik, sekali lagi elemen
jasmani dan rohani tidak terlalu mendukung. Maafkanlah.
Hari itu adalah ujian bahasa arab dan inggris. Aku duduk di nomor dua
dari depan, laki-laki dan perempuan dipisah tapi tetap dalam satu ruangan. Mataku
berputar sebelum berhenti kepada sesosok wanita. Sosok yang asing, tidak pernah
sekalipun aku melihatnya berkeliaran selama ini. Bayangkan saja rentang waktu
dari mulai sospem, ospek yang memakan kurang lebih waktu 2 mingguan lebih. Dan sama
sekaali kau belum pernah bersua dengannya, betapa lebar bumi ini jika begitu. Aneh.
Sejenak aku mencoba berpikir, ah mungkin dia kakak angkatan. Yang mengulang
dalam pelajaran bahasa. Hal yang sering terjadi. Ah, perkiraan meleset jauh.
Kupandangi sekali lagi, wajahnya yang meneduhkan, menenteramkan. Busananya
yangt sederhana. Sungguh siapakah dia? Ujug-ujug saja mengunjungi jurusanku
tanpa bersua sama sekali. Benar-benar membuat pertanyaan yang harus segera
dijawab.
Mengapa harus kepada sosok ini? Mengapa dari sekian banyak wanita yang
kujumpai tiada satupun pemilik daya pikat kuat seperti dia? Aku tetap menyimpan
beragam pertanyaan, hanya saja mata tidak pernah jemu untuk menikmati indahnya
ciptaan Tuhan. Ah, mungkin dia sinta berjilbab. Ngarang… heu
Pertanyaan itu seakan bersambut dengan doa. Matahari berputar lambat,
ingin kulalui pekatnya malam demi meyambut sinar terang sang surya. Bukan. Bukan
sinar sang surya, karena cahayanya telah kau renggut. Mau tidak mau mata ini
terhisap oleh magnet pandangmu, sungguh kau benar-benar terlalu.
Ah apakah ini getaran halus pertanda cinta? Cinta pandangan pertama? Atau
hanya bentuk kekaguman sejenak? Ah engkau benar-benar menggodaku untuk jatuh
hati kepada ciptaanmu. Mengapa dari sekian banyak wanita harus ke dia? Inikah namanya
cinta? Maaf aku terlalu polos memaknai kata cinta, bahkan hingga kini.
Semesta mendukung. Semesta mendukung. Semesta mendukung.
Kaki ku silangkan, memberi jeda otak untuk berpikir. Masih di kafe di
tengah keramaian lalu lalang kendaraan besar. Gelas-gelas kosong mengelilingi
meja kayu berplitur bening. Dinding hijau dilapisi oleh banner bermotif daun,
dengan sekali gambar elang berada di sudut. Tempat baru, basecamp salah satu
club motor. Hanya terkaan saja. Jeda kan ya…
Semesta mendukung. Kerikil kecil mulai tersusun rapi, entah siapa yang
menaruhnya sedemikian rupa. Jalan lapang, mulus lancar, tiada kemacetan
berarti. Perlu kerja diam-diam untuk mengenalmu sebelum waktu juga yang
mendekatkan.
Entah doa siapa yang diijabah. Untuk setengah tahun ini kita akan selalu
bersua, walau tak sesering bertatap pandang. Setidakny ada intensitas
pertemuan. Ya, aku masih saja malu sekedar bertanya siapa namamu. Maka kupasang
baik-baik telingaku ketika mahasiswa satu persatu, salah satu caraku untuk
mencoba mengenalmu dengan tidak diawali jabat tangan. Kepalaku bergerak ke sana
kemari, memastikan namamu tidak terlewati, kantuk sirna. Fokus. Detik-detik
bergerak lambat. Satu persatu mahasiswa memperkenalkan diri, hingga tiba
giliranku. Sebelum memperkenalkan diri, ku sapu satu persatu wajah-wajah yang
kelak akan menemani masa studi setengah tahun. Tahukah kau, itu hanyalah alibi
agar aku bisa teduh dalam tatapanmu. Tidak lebih. Aku benar-benar lupa apakah
kau menatapku waktu itu sejenak, karena memang aku tidak berani benar menatapmu
hingga bermenit-menit. Sungguh.
Jarak tiga jeda setelah namaku, sepertinya. Aku lupa tepatnya. Kau mulai
memperkenalkan diri, kucoba meraih perhatianmu. Ah sia-sia. Kau bagaikan cahaya
dikerumuni oleh laron-laron. Salah satu laron itu adalah aku, yang tiada beda
dengan mereka. Sungguh suaramu empuk, intonasi berirama. Inner beauty mu
sungguh benar-benar memancar kala itu. Lupa sudah detail busana yang kau
kenakan. Yang pada akhirnya busana yang kau kenakan seperti itu-itu saja. Sederhana,
tapi memikat. Mungkin hanya perasaanku saja yang mengagumimu, ternyata salah
kaprah. Akhir-akhir ini ternyata cahayamu juga hampir menyinari kelas kita nan
lapa ini. Aku baru tahu, bukan aku saja yang tertawan oleh kilauan cahayamu. Bukan.
Generator saraf otak mendadak memompa berjuta wat, menerangkan malam nan
tidak berbintang. Ya jelas tak berbintang, di atasku adalah beton. Mana bisa
melihat bintang, kecuali ornament penghias lampu.
Ah, kau ini mengapa memaksaku bercerita dalam kondisi yang kurang begitu
bergairah. Jadinya seperti ini, acak adul. Seperti yang kau kira. Magismu tidak
Nampak. Pesonamu tak terasa. Cahayamu pudar. Maafkanku. Aku tidak bisa
melukiskan tentangmu dengan baik. Cerita belum berakhir, dan akan terus
berlanjut. Hingga semua plot menunaikan kewajibanya untuk menidurkan dunia.
Sekat telah tercipta. Teritori telah tersepakati. Jarak telah digelar. Pagar
telah dibangun. Hak tlah tercerabut. Pengabdian mulai ditanam. Ketaatan disemai.
Hari ini. Beberapa patah kata telah sah memercusuarkan jarak.
Tenang saja, kisah ini belum berakhir. Tidak seperti andaianmu tentang
husnul khotimah. Belum terlihat betul asam, pahit, asin plot cerita. Kau hanyalah
masa lalu yang hanya patut untuk diceritakan. Ingat! Tidak ada penyesalan sama
sekali. Hati telah berikrar untuk pergi, tiada rasa. Hampa. Hambar. Semua kisah
hanya untuk dibaca, syukur kalau dibuang ke tempat sampah. Bukankah hakikat
manusia adalah sampah dari manusia lainnya.
Sekali lagi selamat. Selamat. Selamat menikmati malam berdua dibalut iman….
Komentar
Posting Komentar