Selamat, sekali lagi selamat



Menjadi tahun baru selalu tidak mengenakan hati. Mengapa tidak? Untaian harapan serta janji palsu selalu membumbung tinggi di angkasa berbarengan dengan meletusnya kembang api pada pergantian hari. Heuh. Sekali lagi harapan tinggi akan selalu mengiringi pergantian tahun. Tahun ini harus lebih baik. Besok tahun ganjil maka saya harus bla bla bla bla, sampah.
Hari esok memang yang selalu tersiksa sebagai pelaksana harian, intensitas niat dan harapan lebih tinggi kan? Setidaknya sebelum terpejamnya mata manusia ada harapan, target yang kudu direalisasikan untuk esok hari. Membebani? Tidak bagi sebagian orang saja. Bahkan ada yang mengatakan ini adalah bentuk motivasi agara setiap harinya ada pekerjaan yang jelas dan bermanfaat, setidaknya.
Nah jika terlaksana perencanaan, jika tidak? Apa tidak kasihan kepada hari esok yang selalu menyaksikan harapan yang hanya tersemat saja, tanpa hasil pasti. Dan lagi, pemberi harapan palsu.
Kembali lagi. Tahun baru, pembaruan niat katanya. Kok ya mengapa harus tahun baru? Tahun baru dianggap sebagai refleksi akumulasi target serta pencapaian dalam setahun. Bukn tahun baru, bukn. Lebih tepatnya tanggal 31 desember sebagai tahun perpisahan yang mengenaskan. Sudah bontot selalu dianak tirikan, sebagai pijakan terakhir menuju dunia baru yang berakhr seperti itu-itu saja.
Kenangan datang tanpa permisi, kelak akan ada waktu menyembulkannya dari dasar ingatan.
Kalimat ini sepertinya tidak berlaku untuk facebook. Ya, media sosial tradisional yang masih saja dapat bertahan di tengah gempuran inovasi media sosial lainnya. Facebook masih saja setia meladeni keluh kesah. Masih sabar melayani tulisan alay, di mana frekuensi huruf tak terbaca lebih sedikit. Masih ingat kan dengan beberapa nomor yang menggantikan abjad alfabet untuk membentuk kalimat? Jika terlupa, tenang saja facebook siap menampilkan masa qobla bi’tsah mu.
Cacatnya facebook hanya tidak kuasa memilah-milah kenangan terbaik dan terburuk. Semua ditampilkan seperti penebusan dosa, yang mau tidak mau kau harus mengakuinya pernah seperti itu. Masih mengelak? Siapa sih yang tidak pernah melalui hal-hal konyol terutama berurusan dengan facebook. Tidak ada kah? Berarti hidupmu kurang asik. Kurang asik loh ya, bukan gak asik. Beda redaksi toh? Mau dijabarkan? Oke. Kurang asik berimplikasi keasikan kepada hal-hal nyata. Ketika manusia menemukan kotak sampah, niscaya manusia itu tidak akan membuang “sampah” nya sembarangan di media sosial. Maybe.....  Tapi sekali lagi adakah yang lebih sabar menerima sampah hujatan, makian, curhat, keluhan selain facebook? Sedikit.
 Loh ini nyambungnya kemana? Tadi kesan dan kesan kok malah nyambati! Huaa huaa huaa.....
Refleksi akhir tahun, rekapitulasi akhir tahun mudah saja, asal. Asal ada catatan ataupun goresan kenangan tertulis, terekam. Tapi percayalah, hanya facebook yang konsisten memberikan ingatan perihal masa lalulumu.
Kenanganku melayang pada periode sepanjang tahun 2014. Tahun penaklukan. Tahun penjelajahan. Tahun gunung. Tahun pendakian. Tahun dolan. Tahun tak terkalimatkan. Mengapa 2014?
Facebook menjawabnya. Puncak demi puncak gunung tertaklukan. Dengan tim berbeda, puncak menjadi bonus usaha kesolidan. Nyatanya, tahun-tahun selanjutnya tidak ada yang bisa menyaingi, hingga kini. Tahun 2015 hanya satu gunung dua kali pendakian. Pendkian pertama via jalur wekas sukses, tanpa kendala. Dapat bonus pula, kemolekan puncak merbabu, kenteng songo. Awan mendekat, terik hangat, angin menyambut, ciat tatatattatatata.
Salah satu pemandangan yang aduhai. Berbeda dengan pendakian via jalur selo, entah mengapa lebih menjurus ketidakberuntungan. Pendakian pertengahan desember kabut gila, badai menyambut, hujan ders, angin tak bersahabat, pandangan hanya berkisar beberapa meter saja. Didorong oleh rasa penasaran akan puncak, hasil tidak baik didapati. Ya, puncak berkabut nan sepi, sudahlah. Apapun kondisinya balas dendam terbalas tuntas.
Eh ini kok malah cerita pendakian 2014, kan mau cerita pendakian kedua dari satuan 2015. Loh kok pikun, bukannya pendakian itu dilaksanakan pada awal januari, setelah UAS ya sebelum ke Lombok (Lombok, hhhmmm kan kukisahkan nanti). Aih, benar pendakian merbabu via selo terjadi pada awal periode 2016. Itupun tidak sampai puncak, heuuuuu. Tak apalah, yang terpenting kebersamaan. Bersama memaknai momen, yang suatu saat menjadi cerita bagi anak, cucu dan lainnya. Bisa saja mengisi salah satu plot di blog ini bukan. Ah, sudah terlalu panjang.
Ragam peristiwa boleh lalu lalang datang dan pergi. Ku peringatkan tidak ada hal spesial yang akan kuperlihatkan terkait harapan di tahun 2017 di tulisan ini. Tidak akan. Biarlah menjadi catatan tersendiri yang kelak akan menjadi bahan cerita. Terimakasih 2016, Lombok, Malang, dan berbagai tempat yang mengembalikan sifat penjelajahan nan mengasikan. Patner pergi, biarlah. Seperti itulah kehidupan, tapi bagaimana memformulasikan dengan tim baru guna menjelajah alam baru. Meskipun, tidak bisa dipungkiri perlu beberapa adaptasi. Begitulah siklus kehidupan. Hhhmm.  Ya tahun 2016 ya. Tahun kebetulan, heu. Tahun pertemuan. Tapi tidak dengan denganmu, yang semakin dingin kepadaku. Ya semoga harapan dalam hati ini tidak tergerus oleh pergantian tahun. Entah, entah mengapa hati ini bisa-bisa hanya merujuk kepadamu. Ternyata aku masih saja percaya dengan hati kecil ini, entah untuk sampai kapan? Konyol, tapi inilah aku.
Selamat menjelang 24 tahun 2017. Damailah ragaku. Damailah hatiku. Damailah. Damailah. Damailah. Tidak banyak harapan untukmu 2017, selain jadilah dirimu sendiri tanpa intervensi harapan. Di mana akan selalu bermuara pada pepesan kosong. Damailah. Damailah. Damailah.

Yogyakarta, 31 Desember 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nomor Stambuk, nomor legenda.

Gila Sama Dengan Waras

Jejak Temu