Postingan

Jejak Temu

  Hari berganti Tua pun menanti Kulit tak lagi kencang Bulir darah perlahan melambat Kepala semakin sering merasa penat Pegal-pegal mulai terasa hebat   Benarkah perubahan itu azali?   Uban berjajar rapi Hidup rukun bersama Legamnya sisa kejayaan mahkota Menyisakan ruang gersang Mula-mula di tengah Perlahan menjamah semua tanpa sisa   Benarkah semua kan kembali?   Fisik tak lagi dapat dibohongi Kekuatan mulai menjadi kelemahan Setidaknya harus sabar menanti Antrian panggilan ilahi Untuk kembali   Lantas mengapakah semua harus terjadi? Bila kelahiran Bila kematian Dipertemukan   kembali   Bukankah lebih baik kita menyendiri?

Keteguhan Hati

  “Datanglah dengan tenang, pergilah dengan lapang.”   Masih seperti hari yang lalu, Ratih memeluk boneka beruang coklat kesukaan adiknya di kursi goyang berwarna putih persis menghadap jingga temaramnya matari.   “Gi, janji ya besok kalau sudah besar kita sekolah naik sepeda, nanti Agi duduk gonceng di belakang ya, biar kakak saja yang menggenjot sepedanya. Lihat Gi, betis kakak besar bukan? Ini tandanya kakak kuat untuk membonceng Agi. Mau ya Gi?”   “Kakak, sudah malam, ayoh basuh muka dulu sebelum tidur. Besok lagi ya kak ngobrol dengan adiknya.”   “Iya Ma.”   Ratih panggilannya, Ratih Kumalasari nama lengkapnya. Berusia genap 5 tahun Januari nanti, seorang anak yang sangat ceria hingga tragedi itu membuatnya menderita tanpa bisa berbuat apa-apa.   Rambut kusut penuh uban seakan menutupi sosok yang sangat cantik di masa mudanya, dambaan hati semua lelaki. Perangainya riang, mudah bergaul dengan siapapun, lincah geriknya mem...

Kami kembali!

Hey Ben, aku tidak suka kau berinteraksi dengan wanita seperti itu. Itulah SMS yang kau kirimkan ke ponselku, seketika aku tersentak dengan hati berbunga. Ah, dia ternyata cemburu, buktinya dia memerhatikan bagaimana aku bercanda dengan teman wanita sejurusan yang baginya kurang tepat. Kau tahu, betapa aku merasa seperti orang yang beruntung diperhatikan olehmu. Hebat sekali efek sebuah kata, padahal hanya bualan semata. Benarkah begitu? Sebenarnya hatiku meronta, apakah ada yang salah? Aku hanyalah bercanda dengan mereka, tak sampai hati kupeluk mereka, tidak pernah aku merangkul mereka. Lantas dimana yang salah? Rasa bersalah atas suatu yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan itu perlahan mati dalam langkahku, itu salahku? Wedus! Sekali lagi kutimbang, akan tetapi hanya sejenak. Titahmu bagiku adalah perhatian, dan perhatianmu sudah sangat kelewat mahal untuk kucecap. Sebagai manusia yang dimabuk asmara, apa yang dikatakan oleh wanita dambaan ...